Penulis: Nasrullah
Pendahuluan
Bencana alam tidak dapat dipahami sebagai rangkaian peristiwa geofisik semata, melainkan sebagai cermin yang memantulkan kapasitas negara: kekuatan institusi, mekanisme kebijakan, kultur birokrasi, serta relasi kuasa antara negara dan masyarakatnya.
Framing bencana sebagai “peristiwa alam” sering mengaburkan tanggung jawab kebijakan, sehingga ‘‘aksi buang badan” menjadi verbal paling ampuh untuk tidak menunjukkan kelemahan pemerintah dalam analisis daya tanggap bencana. Padahal Negara telah memiliki institusi Badan Klimatologi Metereologi dan Geofisika (BMKG) yang telah memberikan warning dan data sebagai informasi dan deteksi dini. Tapi naifnya, informasi dan data dari BMKG tidak cekatan, tidak cerdas dan tidak bernas membacanya.
Pertanyaan filsafatnya adalah “siapa mengelola siapa?” menjadi penting ketika hujan berubah menjadi banjir, gunung meletus, atau gempa mengguncang suatu wilayah. Pertanyaan kritisnya lagi adalah ; Apakah negara benar-benar mengelola bencana, atau justru bencana yang mengelola negara? Artinya, apakah pemerintah mengendalikan proses penanganan bencana secara sistematis, ataukah negara hanya bereaksi—terseret oleh situasi, tekanan politik, kepentingan ekonomi, dan kelemahan koordinasi?
Frasa ini mempertanyakan tiga hal pokok: Kontrol dan kapasitas negara – Apakah negara memiliki sistem yang kuat atau hanya “dikelola” oleh keadaan darurat yang datang tiba-tiba.
Arah kebijakan – Apakah kebijakan bencana dibuat berdasarkan kebutuhan publik atau justru mengikuti kepentingan tertentu.
Relasi kekuasaan – Siapa yang paling berperan dan menentukan keputusan saat bencana: pemerintah pusat, daerah, lembaga tertentu, atau pihak-pihak yang punya kepentingan politik/ekonomi?
Dalam situasi tersebut, idealnya negara mengelola bencana; namun praktik empiris menunjukkan keragaman dinamika yang justru menampilkan masyarakat sipil, komunitas lokal, lembaga swadaya masyarakat, bahkan pasar sebagai aktor pengambil peran dominan. Bencana selalu menjadi komoditas dan strategi politik bagi Negara untuk mengambil peran hati masyarakat
Tulisan ini bertujuan mengurai perspektif tersebut secara sistematis: pertama, melalui identifikasi masalah inti dan kerangka teoretis; kedua, melalui penggambaran dinamika praktis pengelolaan bencana; ketiga, melalui analisis kritis terhadap temuan utama; dan terakhir, melalui implikasi kebijakan dan rekomendasi strategis. Seluruh pembahasan disusun dalam bahasa akademik berstandar tinggi, namun tetap menjaga keterpahaman publik.
Masalah Inti
Pengelolaan bencana berada pada titik persilangan antara dimensi teknis dan dimensi politik-sosial:
Pertama, dimensi teknis, mencakup kemampuan negara mengembangkan kapasitas mitigasi, respons darurat, dan pemulihan pascabencana. Kapasitas ini diwujudkan melalui infrastruktur fisik, sistem logistik yang efisien, sistem peringatan dini, kualitas sumber daya manusia, dan koordinasi antarlembaga. Dari dimensi ini, Negara sangat lemah dan lambat dalam merespon setiap bencana alam yang terjadi.
Kedua, dimensi politik-sosial, mencakup legitimasi pemerintah, prioritas anggaran, mekanisme distribusi bantuan, serta hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk hubungan negara dengan masyarakat sipil.
Paradoks kemudian muncul: secara normatif negara adalah pihak yang mengelola bencana; namun secara empiris, terdapat situasi di mana masyarakat atau pasar “mengelola” dampak bencana akibat kelambanan respons negara. Sebaliknya, terdapat pula momen ketika negara menggunakan momentum bencana untuk memperluas otoritas dan akumulasi aset politik.
Menimbang Tiga Lensa Analitis
Analisis berikut menimbang kedua sisi tersebut—antara kapasitas teknis dan motif politik. Pembahasan menggunakan tiga lensa analitis yang saling melengkapi:
Governance dan Kapasitas Negara.
Lensa ini menilai kemampuan administratif, regulasi, serta daya dukung sumber daya dalam mengelola risiko bencana. Tolok ukur utama adalah kesiapsiagaan, kecepatan respons, dan kualitas rekonstruksi.
Teori Politik Krisis
Krisis dianggap sebagai peluang politik. Pemerintah dapat memperkuat legitimasi melalui respons yang efektif atau, sebaliknya, memanfaatkan krisis sebagai wahana ekspansi kekuasaan (state expansion) melalui kontrol kebijakan dan sumber daya.
Pendekatan Resiliensi Sosial
Lensa ini menekankan peran masyarakat sipil, modal sosial, serta pengetahuan lokal dalam mengurangi kerentanan. Pertanyaannya bukan hanya “siapa mengelola”, tetapi “bagaimana pengelolaan didesentralisasi”—apakah pemberdayaan terjadi atau sekadar pemberian beban administratif tanpa kapasitas yang memadai.
Analisis Kritis
Berdasarkan kerangka dan dinamika di atas, terdapat tiga temuan utama: Kapasitas tanpa legitimasi berpotensi gagal. Meskipun negara memiliki sumber daya teknis, kurangnya kepercayaan publik akan melemahkan efektivitas distribusi bantuan. Transparansi anggaran dan pelibatan masyarakat menjadi aspek penting keberhasilan.
Bencana sebagai katalis perubahan institusional—positif maupun negatif. Krisis membuka peluang reformasi struktural, namun dinamika politik sering mengubah reformasi menjadi sarana akumulasi kepentingan ekonomi maupun politik.
Desentralisasi tidak identik dengan pemberdayaan. Desentralisasi yang hanya memindahkan beban tanggung jawab tanpa transfer kapasitas dan otonomi fiskal akan memperburuk performa pengelolaan. Desentralisasi sejati memerlukan dukungan infrastruktur kelembagaan yang memadai.
Studi Kasus Singkat
Dua ilustrasi umum dapat menggambarkan kompleksitas tersebut: Kegagalan Sistem Peringatan Dini. Teknologi peringatan telah tersedia, tetapi tidak terintegrasi dengan struktur sosial-budaya lokal sehingga masyarakat tidak merespons dini. Ini menunjukkan kesenjangan antara teknologi dan komunikasi risiko.
Rekonstruksi yang Terpolitisasi
Proyek rekonstruksi besar sering dimanfaatkan untuk kepentingan korporasi dan politik, termasuk pembangunan permukiman di zona berisiko tinggi demi keuntungan kontraktor sekaligus modal politik.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk memperkuat tata kelola pengelolaan bencana, diperlukan langkah konkret sebagai berikut:
Membangun Indeks Kinerja Pengelolaan Bencana, yang menggabungkan indikator kapasitas teknis dan legitimasi sosial, mencakup partisipasi publik, transparansi anggaran, dan akuntabilitas kontrak.
Desentralisasi berbasis kapasitas, melalui transfer kewenangan yang diikuti pelatihan teknis, dukungan fiskal, serta mekanisme audit independen pada tingkat lokal.
Pengetatan standar kontrak rekonstruksi, dengan proses tender yang transparan, keterlibatan auditor publik, dan insentif bagi penerapan standar bangunan tahan bencana.
Integrasi pengetahuan lokal dalam mekanisme peringatan dini melalui relawan lokal, komunikasi berbasis bahasa daerah, serta pemetaan kerentanan komunitas. Pembentukan mekanisme anti-korupsi khusus masa krisis, berupa unit audit darurat dengan akses data real-time untuk memantau pengadaan barang, jasa, dan kontrak rekonstruksi.
Penutup
Pertanyaan awal tidak memiliki satu jawaban tunggal. Dalam praktik ideal, negara mengelola risiko bencana dengan memberdayakan masyarakat melalui kemitraan yang simbiotik: kapasitas institusional bertemu modal sosial lokal. Namun praktik empiris menunjukkan dinamika yang lebih kompleks—masyarakat sering mengambil alih ketika Negara absen dan lambat, atau Negara mengelola masyarakat ketika krisis dimanfaatkan sebagai instrumen konsolidasi kekuasaan.
Oleh karena itu, fokus riset dan kebijakan tidak hanya pada evaluasi kapasitas teknis negara, tetapi juga pada pembacaan relasi kuasa, transparansi pengelolaan, serta legitimasi yang menyertai proses penanganan bencana. Hanya melalui integrasi kapasitas teknis yang kuat, legitimasi sosial, dan resiliensi komunitas, pengelolaan bencana dapat menghasilkan hasil yang berkelanjutan dan adil bagi masyarakat terdampak.(***)
