|

Syaiful Syafri: Aksi Unjuk Rasa Dampak Komunikasi Pemimpin Tak Sesuai Budaya

Aksi unjuk rasa kepada institusi pemerintah terjadi dampak suatu kebijakan dan komunikasi pemimpin yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya  bangsa dan masyarakat Indonesia.(foto: rel)

INILAHMEDAN - Jakarta: Aksi unjuk rasa kepada institusi pemerintah terjadi dampak suatu kebijakan dan komunikasi pemimpin yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya  bangsa dan masyarakat Indonesia.
    
Hal tersebut diungkapkan Syaiful Syafri kepada pers usai bertemu dengan anggota DPR RI di gedung DPR RI Jalan Gatot Subroto Senayan, Jakarta, Selasa (02/09/2025).

Kata Syaiful, demonstrasi yang terjadi belakangan ini di Indonesia dipicu dari kecemburuan sosial atas  kebijakan dan komunikasi yang yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. Hal ini mendorong rakyat bergerak menuntut keadilan dan kesejahteraan sesuai nilai nilai kemanusiaan.
    
"Nilai budaya di masyarakat merupakan nilai luhur yang hidup subur baik secara individu maupun kelompok sebelum dan sesudah diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945," kata Kadis Pendidikan Sumut 2010-2014 ini.
    
Dikatakan, para pendiri negara  menggali nilai budaya ini dengan musyawarah untuk mufakat dan hasilnya dijadikan falsafah hidup bangsa Indonesia dalam sikap dan perilaku kehidupan sehari hari untuk menciptakan rasa persatuan, cinta tanah air,  cinta bangsa dan negara demi masa depan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945.
    
"Bergesernya nilai budaya dan komunikasi yang tidak sesuai akibat lunturnya  semangat kesetiakawanan sosial  seorang pemimpin di daerah atau di pusat, misalnya ketika mengambil satu kebijakan dibarengi komunikasi sosial yang  menyakiti hati masyarakat berdampak kerawanan sosial sehingga memicu demonstrasi," kata Syaiful Syafri.
     
Syaiful Syafri mencontohkan bahwa sebagian orang dapat mengalami  pergeseran nilai budaya ketika mengemban sebuah jabatan dalam institusi pemerintahan. Sehingga dalam berkomunikasi pun berubah menjadi keangkuhan apalagi ia lupa diri dari sejarah pahit dan getirnya hidup bersama keluarganya pada tahun-tahun  sebelumnya.
     
"Ini banyak kit lihat, seorang  perantau dari desa menjadi anggota DPRD atau bupati tanpa ngoreksi dirinya siapa yang sudah mengantarkannya ke jabatan itu dan ketika sudah punya jabatan dan institusi pemerintah bisa sepontan nilai-nilai budayanya secara pribadi bergeser total. Dan yang hebatnya keluarga pun ikut berubah gaya perilaku dan hidup bermasyarakat," kata Syaiful.
       
Demikian juga yang terjadi saat ini, di saat masyarakat sedang mengalami kesulitan ekonomi, ada pemimpin di daerah atau di pusat membuat kebijakan  yang tidak sesuai harapan masyarakat sekaligus membangun komunikasi yang memicu kecemburuan sosial dan akhirnya masyarakat melakukan demonstrasi ke satu atau dua institusi pemerintah.
   
"Jika demonstrasi sudah terjadi membawa dampak gangguan kamtibmas, apalagi jika orang orang yang tidak bertanggung jawab muncul menjadi provokator yang didukung media sosial mendorong masyarakat berdemontrasi untuk melakukan perusakan, pembakaran,  penjarahan  sehingga  bentrokan tidak terhindarkan antara petugas keamanan dengan massa demonstran " ungkap Pj Bupati Batubara 2008 ini.

Sebenarnya, tambah Syaiful, gerakan demonstrasi bisa diatasi apabila pimpinan institusi mau menjemput bola seperti pimpinan DPR RI selaku wakil rakyat atau pimpinan Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dengan berkomunikasi kepada penggerak demonstrasi seperti mengundang atau mengajak bermusyawarah.
    
Ini pernah terjadi di Sumut pada tahun 2017 dan 2018, dimana 2 Kapolda di Sumut menggunakan metoda yakni melakukan penjemputan di jalan raya ketika massa demonstrasi menuju kantor Polda dan langsung bersama kapolda berjalan kaki menuju gedung yang telah disiapkan untuk para demonstrasi berorasi.
      
Sedang kapolda pengganti malah menggunakan metoda mengundang semua komponen yang akan berdemonstrasi ke kantor Polda untuk bersama merumuskan tuntutan dengan musyawarah di tenda yang sudah disiapkan di depan Mapolda Sumatera Utara, sehingga melalui musyawarah itu demonstrasi dibatalkan.
    
"Mengapa nilai budaya ini tidak dilakukan para pemimpin di wilayah sasaran demontrasi yang sudah terinformasi,  khususnya pihak DPR RI/DPRD  selaku wakil rakyat atau Polda/Polres yang menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat sebelum terjadi peristiwa demonstrasi seperti  di Kabupaten Pati atau peristiwa yang terjadi pada  tanggal 25, dan 28 Agustus yang baru lalu di beberapa provinsi di Indonesia," tanya Syaiful.
    
"Karenanya mari kembali kepada nilai budaya musyawarah untuk mufakat baik dalam  berkomunikasi ataupun dalam membuat kebijakan, apakah kita sebagai unsur pimpinan dalam satu institusi atau kita sebagai komponen masyarakat secara luas dalam mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur  sesuai pembukaan UUD 1945," tambahnya.
    
"Mungkin ini sebagai renungan bagi seorang pemimpin istitusi  dalam membuat kebijakan dan membangun komunikasi dengan masyarakat dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat yang kita cintai," tutup Syaiful.(imc/)

Komentar

Berita Terkini