|

(OPINI:) Polisi, Benteng Yang Sering Disalahpahami

 




Oleh : Nasrullah


Di panggung sejarah bangsa, ada peran yang selalu hadir, namun jarang disyukuri. Ia tegak berdiri di bawah terik matahari, tetap berjaga di tengah deras hujan, dan terus mengawal bahkan ketika gelombang amarah massa menggelegar di jalanan.


Peran itu bernama Polisi—sebuah institusi yang lahir dari amanat negara untuk menjaga kehidupan tetap tertib, namun kerap dianggap sebagai wajah penghalang aspirasi rakyat.

Betapa sering, dalam riuh demonstrasi yang menyala di jalan-jalan, polisi tampil sebagai sosok yang paling mudah dituding. Tameng yang mereka genggam dianggap sebagai dinding pembatas kebebasan, padahal sejatinya ia adalah perisai agar kebebasan itu tidak berubah menjadi kebablasan. Tongkat yang mereka bawa dipandang sebagai alat represi, padahal ia adalah simbol disiplin agar suara yang ingin didengar tidak tenggelam dalam ricuh dan anarki.

Sejarah panjang bangsa ini telah mengajarkan bahwa kebebasan tanpa pagar akan mudah berubah menjadi liar, dan ketertiban tanpa ruang ekspresi akan berujung pada penindasan. Polisi hadir di antara dua jurang itu, menyeimbangkan hak dan kewajiban, menjaga agar arus besar demokrasi tidak menghantam tebing kekacauan. Tetapi ironinya, kehadiran mereka justru sering disalahpahami. Mereka dilihat sebagai musuh, bukan penjaga. Mereka ditempatkan dalam posisi dilematis, ketika mengendur dituding lalai, ketika tegas, dicap represif.


Dianggap Musuh, Tapi Pahlawan


Ada paradoks yang begitu getir. Masyarakat marah kepada polisi, melontarkan cacian, bahkan melemparkan batu. Namun pada saat yang sama, masyarakatlah yang paling pertama mengetuk pintu mereka ketika keamanan terancam. Ketika malam sunyi dirusak oleh pencuri, ketika jalanan mencekam oleh geng kriminal, atau ketika bencana datang meluluhlantakkan, sosok pertama yang dicari adalah polisi. Di saat itulah, mereka tidak lagi dianggap musuh, tetapi pahlawan yang datang membawa rasa aman.

Sayangnya, ingatan manusia sering pendek, yang terpatri justru momen bentrokan, bukan saat perlindungan. Tertulis di ruang publik hanyalah tuduhan, bukan pengabdian. Padahal, polisi adalah manusia biasa, mereka punya keluarga, punya anak-anak yang menunggu dengan cemas, punya harapan sederhana untuk pulang dalam keadaan selamat. Namun tugas telah menuntut mereka untuk tetap berdiri, bahkan ketika harus menahan amarah, menerima hinaan, dan berhadapan dengan gelombang massa yang tak selalu bisa dikendalikan.

Polisi adalah benteng—tetapi benteng yang sering disalahpahami. Ia tampak kaku, dingin, seolah tanpa rasa. Padahal, di balik seragam dan tameng itu, ada hati yang berdebar, ada doa yang lirih, ada jiwa yang tetap manusiawi. Mereka bukan mesin yang bekerja tanpa perasaan, melainkan manusia yang memilih mengorbankan kenyamanan pribadinya demi menjaga ketenangan orang lain.

Mungkin di sinilah kita perlu menundukkan kepala sejenak, merenung dengan hati yang jernih. Apakah adil bila mereka hanya dilihat dari wajah kerasnya, tanpa menimbang niat pengabdiannya? Apakah bijak jika kita hanya mengingat benturan di jalanan, tetapi melupakan betapa sering mereka hadir di saat genting, ketika hidup kita terancam bahaya?

Tentu polisi tidak selalu sempurna. Ada kekeliruan, ada tindakan yang salah, bahkan ada oknum yang menodai kehormatan seragamnya. Namun, menghakimi keseluruhan hanya dari cacat segelintir adalah ketidakadilan yang lain. Sama halnya dengan bangsa ini, kita tak pernah menolaknya hanya karena ia pernah salah, justru kita merangkulnya untuk menjadi lebih baik.

Sesungguhnya, polisi bukanlah lawan yang harus kita hadapi dengan kebencian. Mereka adalah mitra dalam menjaga keutuhan kehidupan berbangsa. Mereka adalah penjaga gerbang yang memastikan demokrasi berjalan tanpa runtuh oleh amarah. Dan meski sering disalahpahami, mereka tetap berdiri, teguh dan diam, menahan segala tuduhan, demi satu tugas suci: menjaga negeri.

Barangkali sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Bahwa di balik seragam itu, ada jiwa-jiwa yang sama rapuhnya dengan kita, ada manusia yang juga menginginkan damai. Bentrokan bukanlah takdir, dan caci-maki bukanlah bahasa sejati demokrasi. Jika rakyat bisa berteriak dengan bebas, itu karena ada yang rela berdiri menjaga batas. Jika negeri ini tetap berdiri, itu karena ada benteng yang menahan serangan ketidakpastian.

Polisi adalah benteng itu. Benteng yang jarang disyukuri, sering disalahpahami, namun tak pernah berhenti menjaga. Mereka mungkin tidak selalu mendapat terima kasih, tetapi tugas mereka bukanlah mencari pujian. Mereka berdiri karena panggilan, mereka bertahan karena tanggung jawab.

Dan ketika kita melihat mereka lagi, berdiri di bawah terik matahari atau di tengah guyuran hujan, mari kita pahami satu hal sederhana: mereka bukan musuh. Mereka adalah penjaga yang memastikan kita semua tetap punya rumah bernama Indonesia—yang aman, tenteram, dan damai.


Penutup

Pada akhirnya, bangsa ini tidak membutuhkan bentrokan antara rakyat dengan polisi, melainkan jembatan pengertian yang menghubungkan keduanya. Polisi bukanlah bayangan gelap yang mengintai kebebasan, tetapi cahaya yang berusaha memastikan kebebasan itu tetap aman dinikmati. Mereka bukanlah musuh yang harus ditumbangkan, melainkan penjaga yang memastikan agar negeri ini tidak runtuh ke dalam jurang kekacauan.

Marilah kita belajar melihat dengan mata yang lebih jernih: di balik seragam yang sering dianggap dingin, ada manusia yang juga merindukan damai; di balik tameng yang tampak keras, ada hati yang berdebar sama seperti kita. Bila rakyat adalah suara, maka polisi adalah nafas yang menjaganya tetap hidup. Bila rakyat adalah gelombang, maka polisi adalah karang yang memastikan gelombang itu tidak menenggelamkan kapal besar bernama Indonesia.

Dan kelak, ketika sejarah mencatat perjalanan bangsa ini, semoga kita tidak hanya menulis tentang bentrokan dan ricuh, tetapi juga tentang kesadaran: bahwa di jalanan yang penuh teriakan, ada mereka yang berdiri diam, menahan luka dan cacian, demi satu harapan sederhana—agar negeri ini tetap tegak, tenteram, dan damai.(***)



Penulis, Peneliti dan Pengamat Hukum dan Sosial

Komentar

Berita Terkini