|

Membagi Pengalaman Penyintas Covid-19

 


Oleh Theo Yusuf

Istilah penyintas, kini lebih populer saat banyak orang terkena serangan covid 19. “Sintas” dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI) web – disebutnya terus bertahan hidup.

Makna dari kalimat itu tentunya, seorang yang kena serangan covid 19 antara “mati dan hidup terasa sangat tipis. Orang tidak semua punya pengalaman mau pisah ruhnya. Mengapa, dalam literaur pernafasan dikenal yang namanya “saturasi oKsigen, yakni dimana seseorang saat terkena serangan saturasi oKsigennya hanya berkisar 91 – 93 poin, cukup membahayakan pernafasannnya, karena saturasi oKsigen normal adalah 95 – 100 poin. Jika seseorang kurang dari angka itu, itulah yang menjadi pokok pangkal mengapa banyak penyintas covid tak terselamatkan akibat lambatnya menanggulagi saturasi oKsigen atau nafas yang yang sesugguhnya bagian dari katalisator “ruh” atau kehidupan.

Penyintas yang sudah lanjut usia, tentu punya masalah tersendiri. Dalam covid 19 juga dikenal dengan penyakit bawaan (komorbid), dimana saat orang terserang covid 19, organ-organ lain ikut berpacu bergerak, seperti tensi darah tinggi, gula darah tinggi dan termasuk juga suhu tekanan badan meningkat. Semua itu awal dari adanya serangan covid yang konon dengan cepat masuk merobek-robek jaringan paru-paru. Dengan begitu cepat selang satu hari ke paru-paru yang seterusnya mengotori darah yang beredar.

Pengalaman saya, usia saya hampir mencapai usia 59 tahun, gula darah belum pernah mencapai 160 poin tiba-tiba naik menjadi 170 poin dan akhirnya ditawari dokter untuk penyuntikan insulin. Tiba-tiba pula tekanan darah melonjak hingga 150 per 110. Itu semua disebutnya ” Co movid 19″.

 Perjuangan Berobat

Pada awal Januari 2020 setiap Sabtu pagi saya rutin melakukan olahraga bulutangkis sesama kolega terdekat. Usai bulu tangkis, ada janji ngopi bareng beserta kolega lain di mall Cibubur Jakarta Timur. Saat itu kita dalam keadaan baik-baik-saja, namun setelah hari minggu, badan mulai tidak enak.

Hari Senin saya terbiasa melakukan puasa, namun pada saat itu, badan sudah terasa tidak nyaman. Akhirnya puasa saya juga tuntaskan hingga buka. Namun cilakanya, dalam malam itu mata tidak dapat saya pejamkan sedikitpun. Semalaman tidak dapat tidur, hingga badan merasa lelah dan kepala terus-pusing.

Saya mencoba pergi ke dokter umum di dekat rumah karena sampai saat itu belum berfikir terserang covid 19. Usai dari dokter, saya hanya bertahan tiga hari, dan selanjutnya saya pergi ke rumah sakit, sebut saja di RS daerah Cipayung.

Dalam situasi badan yang sudah tidak enak itu, di sana mendapatkan “pelayanan” kurang optimal, harus pergi dulu ke Puskesmas minta rujukan. Jarak Rumah sakit Puskemes juga relatif jauh. Akhirnya dengan sigap anak-anak mengantar ke Puskemas itu, namun dari sana-pun juga ternyata dokter yang jaga sedang isolasi mandri dan petugas lain kurang sigap dalam menangani masalah-masalah yang begitu banyaknya orang terkena covid.
Saat itu pula ada pasien di Puskemas yang meninggal karena covid 19 sementara keluarganya belum mau ambil dan petugas tentu kekurangan sarana dan prasarana, sehingga dalam situasi itu saya hanya terus berdoa saya diberikan umur panjang.

Dari Puskemas saya tidak mendapatkan informasi cukup, akhirnya saya putuskan mencari antigent mandiri, dan hasilnya dalam waktu yang tak terlalu lama dinyatakan positif. Saya tak ambil posing, kemudian saya melakukan swab mandiri, hasilnya pun dinyatakan positif.

Kondisi badan terus drop, nafas terus “mengkas-mengkis”, penciuman tidak ada lagi, dan kepala pusing tak terbayangkan selama ini. Akhirnya dengan gerak cepat anak-anakku menuju ke Unit Gawat Darurat RS UI Depok. Di sana ternyata juga tidak mudah. Namun saya dan anak anak mampu menyakinkan, saya harus mendapatkan pertolongan karena hasil swabnya positif dan jika tidak mendapatkan bantuan, saya katakan, ini sudah mau “meninggal”, kataku mengiba, kepada suster yang mendekati dalam mobilku itu.

Setelah lobi sebentar, untung Allah Swt beri kemudahan ada satu extra bed yang masih tersisa dalam IGD itu dan akhirnya saya mendapatkan empat di sebuah lorong IGD RS UI dengan pertolongan ada gas sekitar 8.000 liter untuk membantu pernafasan saya yang sudah saturasi oksigennya tinggal 91- 94 itu.

Situasi sulit itu, saya berada di IGD RS UI selama tiga hari. Hidup yang selama ini saya nikmati terasa hampa. Saya pingin hidup, saya pingin terus mengabdikan kebaikan. Itu iba ku kepada Tuhan.

Setelah nafas mendapatkan pertolongan dengan alat pernafasan, namun dalam IGD tersebut jangan dibayangkan situasinya “enak”. Jumlah rungan sempit, jumlah orang lebih dari luber, (pasien) kalau mau pipis dan buang air besar tentu tak mudah. Dalam situasi yang sempit tak ada layanan buang air kecil maupun besar kecuali hanya disarankan menggunakan pampers (kertas untuk menampung pipis atau air besar) atau pispot. Bagi mereka yang tak terbiasa, hal itu bukan perkara mudah. Makanya tak heran jika situasi seperti itu memantik semua penyakit penyerta tiba-tiba datang menyerangnya (comovid 19).

Pihak IGD memang cukup profesional, menyaring siapa yang paling berbahaya. Untuk memindahkan ke ruang perawatan tidak semudah anda bayangkan, karena tentu ruangan di berbagai kamar konon sudah penuh atau mencapai 80 persen lebih. Disanalah lagi-lagi hanya doa yang kupanjatkan untuk mendapatkan kemudahan untuk segera pindah setelah saturasi oksigen dan detak jantung relatif stabil meskipun belum pulih sepenuhnya.

Hari Pertama Pindah Kamar

Pada awal Januari kira-kira tanggal 4 saya mendapatkan kabar bahwa besok saya harus pindah. Semua biaya ditanggung Departemen Kesehatan, dalam hal ini (saya mengucapkan terimakasih atas nama pribadi kepada Pemerintah). Saat itu malam mulai tiba. Akhirnya ada suster yang menjemput dan saya ditempatkan di LT 14 dengan ruang isolasi mandiri sendirian. Saya saat masuk ada aroma yang tak nyaman, ruang sepi sunyi, ah saya tidak takut. Namun dalam tidur sendirian itu, saat sunyi, tidak ada suara, tidak ada orang yang menemani, hanya ada satu lampu yang menyala, tiba-tiba sekitar pukul 02.30 WIB ada yang mencoba mengitik-itik perut kiri dan kanan, dengan suara sayup, hay, ini tempatku. Dengan hati teguh saya kuat dengan berbagai “gangguan” jin atau setan lewat membaca doa-doa apa saja yang saya bisa. Akhirnya sampai pagi saya dapat tidur secara nyenyak dengan pikiran jauh lebih enak ketimbang ada di IGD tempo kemarin.

Bagaimana cara menyelesaikan masalaah saat ada di ruang isolasi? Tetu semua orang mempunya pengalaman masing-masing. Intinya saat dikasih makan, jangan sampai tidak mau menyentuh. Memang jenis makanannya terasa hampa, tidak ada rasa asin dan pedas. tetapi itulah makna pengobatan. Saya harus berjuang untuk terus dan terus makan dari pemberian suster yang tiga kali sehari dikirim dengan bungkus yang rapih.

Selain itu hampir tiap hari saya harus meminum obat-obatan minimal 30 tablet per hari. karena setiap mau makan, lebih dari 10 jenis obat-obabatan dari zinc, omega, vitamin, obat gula, tekanan darah tingi, stabilitasi jantung dan lain-lain siap harus saya santap.

Terasa mual, tetapi itulah orang mau sembuh. Akhirnya, secara bertahap nafas saya terus terjaga dengan baik, hingga masuk ke hari ke delapan. Di sana para dokter profesional mulai mengajari cara nafas yang baik, cara pergi ke kamar mandi, dan secara bertahap harus melepas masker oksigen yang selalu melekat di dalam hidung saya karena masih perlu bantuan masker gas itu. Akhirnya saat itu paru-paru dilakukan scan, dan pengambilan darah, dimana meskipun paru-paru masih terkontaminasi, namun secara kedokteran tidak lagi membahayakan. Swab-pun dilakukan dan akhirnya dinyatakan negatif, saya dibolehkan pulang untuk ikut program isolasi mandiri di rumah dengan pantauan kontrol dari para dokter profesonal dari RS UI, dokter jantung dan paru.

Semoga pemerintah terus konsisten untuk menanggulangi dan membantu para penyintas. Agar tenaga rumah sakit utamanya di garda depan Puskesmas lebih profesional, pengadaan sarana dan prasarana dapat ditingkatkan lewat pengawasan anggaran lebih baik agar tidak mudah dilakukan korupsi dari perilaku jahil – yang pada gilirannya, semua akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik karena sarana dan prasarana dapat terpenuhi. jika ada suatu negara yang mampu melayani rakyatnya secara prima, tentu kita-pun harus demikian.

Saya tak akan lupa dukungan dari para kolega dokter, utamanya dr. Maria Ulfah, dokter di tempat kantor saya bekerja, dan para sahabat  saya yang tak sebut satu per satu, yang selalu menyemangati dalam situasi kritis psikologis.

Semoga Tuhan segera mencabut penyakit covid 19 dari permukaan bumimu ini. dan semoga pula bagi yang terserang segera diangkat penyakitnya agar mereka mendapatkan hidup dan dapat berbuat baik kepada sesama umat di lingkungannya. Hidup, berkegiatan pada akhirnya hanya diabdikan kepadaNya. Salam

Wartawan Senior

Komentar

Berita Terkini