|

(OPINI) Model Demokrasi New Normal Menuju Pilkada 2020


Sejak awal 2020, dunia gempar oleh virus corona yang menyerang pernapasan manusia dan bisa menyebabkan kematian. Virus yang berasal dari Wuhan, China, ini dengan cepat menyebar ke berbagai belahan dunia.

Di Indonesia, pemerintah mengumumkan kasus pertama virus corona pada awal Maret. Hingga saat ini, jumlah pasien terjangkit Covid-19 sebanyak 1.311 kasus dengan 136 kematian dan 81 sembuh.

Semakin bertambahnya jumlah kasus ini, maka pemerintah memutuskan untuk PSBB dan sosial distanching yang mengakibatkan munculnya az adaptasi kehidupan baru (AKB) yang disebut New Normal. Seperti belajar, bekerja dan beribadah di rumah. Masyarakat juga diimbau untuk menghindari kerumunan. Hal ini merupakan kebalikan dari sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial dan berkumpul.

Jiwa politik masyarakat juga terhambat. Namun beberapa bulan belakangan ini pemerintah mulai menerapkan New Normal agar keadaan pulih tapi tetap memberlakukan protokol kesehatan.

Kualitas demokrasi menjadi salah satu yang dipertaruhkan dalam pelaksanaan Pilkada 2020 di era New Normal. Pasalnya, suksesi dalam penentuan pemimpin daerah di masa pandemi dapat terhambat oleh ancaman penyebaran virus Corona.

Pemerintah, DPR dan penyelenggara Pemilu seperti KPU, Bawaslu, DKPP pada rapat dengar pendapat yang dilaksanakan pada 23 Mei 2020 telah memutuskan kelanjutan tahapan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa penyelenggara Pemilu dapat menggunakan protokol kesehatan akibat pandemi Covid-19, namun juga tetap menjaga kualitas demokrasi lokal.

Penyelenggaran Pilkada di tengah pandemi memang tidak mudah. Hal ini dikarenakan Pemilu harus mengelola dua aspek sekaligus. yakni teknis pelaksanaan dan ketaatan protokol kesehatan. Pasalnya, hal tersebut dibutuhkan untuk menjamin proses pilkada berlangsung dalam situasi terkendali. Sehingga, ajang pilkada tersebut tidak menciptakan cluster positif Covid-19 baru.

Selanjutnya, pertanyaan krusial yang muncul adalah bagaimana mempertahankan kualitas proses pemilihan di tengah pandemi saat ini. Mengingat banyak implikasi, khususnya terkait dengan teknis kepemiluan di setiap tahapan seperti pencalonan, sub verifikasi faktual calon perorangan.

Tolak ukur utama demokrasi dalam konteks pemilihan yang dimaksud adalah terjaminnya hak WNI untuk memilih dan atau dipilih sesuai dengan asas Luber Jurdil. Bagaimana Bawaslu malakukan pengawasan dengan independensi dan integritas.

Berkaitan partisipasi masyarakat, bukan hanya sekadar datang menggunakan hak pilih tetapi dalam aspek lebih luas, ikut serta dalam pengawasan dalam pemilihan dan menyampaikan.

Keempat perkara kepatuhan hukum.
Tingkat Partisipasi pemilihan menjadi salah satu aspek untuk menilai sukses atau tidaknya pesta demokrasi tersebut. Untuk target tingkat partispasi pemilihan merujuk pada hasil penelitian dari sejumlah lembaga, ternyata tingkat partisipasi rata-rata hanya mencapai angka 70 persen. KPU telah menyusun target tingkat partisipasi pemilihan dalam penyelenggaran Pilkada 2020 setelah melewati pembahasan yang cukup panjang karena pesta demokrasi ini akan dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19.

Kendati begitu, partisipasi masyarakat tidak semata-mata dapat diukur dari kehadiran di TPS atau dari aspek angka-angka saja. Keseluruhan proses semua pihak dari sosialisasi, pendidikan pemilih, dan penerapan protokol kesehatan ikut menjadi perhatian membela demokasi Indonesia di masa pandemi ini, mempertahankan demokrasi sebagai proses inklusif, partisipatoris, dan aman bagi semua orang.

Demokrasi harus dipraktikan secara sehat, baik dari aspek kompetisinya maupun jaminan kesehatan. Demokrasi tidak boleh dipertaruhkan reputasinya karena Pilkada yang diselenggarakan tanpa kesiapan yang baik dan membahayakan kesehatan warga negara.

Lebih lanjut, dia mengatakan rakyat tidak boleh dilimitasi dengan zonasi-zonasi untuk menguji demokrasi. Apabila ingin mencapai kualitas demokrasi, maka seluruh prinsipnya harus dipenuhi, harus ada kesetaraan warga negara dalam penerapan kontrol. Selain itu, kesetaraan politik yang dimiliki seluruh warga adalah prinsip pokok dari demokrasi.

Bila berkaca dari Pilkada yang diselenggarakan Singapura, negara tersebut memperpanjang waktu pemilihan. Tapi, apabila diterapkan di Inodnesia akan terjadi perdebatan legalitas. Kita tidak ada bisa melakukan perpanjangan waktu tanpa ada landasan hukum. Jadi harus ada penyesuaian secara proporsional tapi juga berkepastian hukum.

Anggaran untuk memenuhi kebutuhan protokol kesehatan juga sangat krusial. Di samping untuk memastikan keselamatan publik, juga dapat meningkatkan kepercayaan diri petugas dan pemilih dari rasa was-was terhadap virus Corona. Dengan demikian, prinsip efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu tentu akan sulit diwujudkan saat pandemi.

Sebagai pembanding, Korea Selatan menganggarkan sebesar US$341 juta dengan jumlah pemilih kurang lebih 43 juta, yang tersebar di 14.330 TPS. Besaran anggaran tersebut digunakan untuk pembiayaan baik teknis dan untuk memenuhi protokol kesehatan seperti pengukur suhu, masker, hand sanitizer, sarung tangan sekali pakai, hingga paju hazmat petugas khusus.***


- Febrianto Lubis

- Mahasiswa UINSU Fakultas Ushuluddin


Komentar

Berita Terkini