|

Ribuan Warga Tambangan Bertarung Nyawa di Jembatan Gantung

Jembatan gantung di Kecamatan Tambangan di bawahnya Sungai Batanggadis yang dalam dan deras ancam keselamatan warga yang melintas. (foto: ist)

INILAHMEDAN - Madina: Ribuan warga di tujuh desa di Kecamatan Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) setahun lebih bertarung nyawa saat melintasi jembatan gantung di atas Sungai Batanggadis.

Sejak Oktober 2018 lalu, jembatan utama di atas Sungai Batanggadis menuju tujuh desa itu hanyut dibawa banjir bandang. Sejak saat itu kehidupan masyarakat di Desa Tambangan Jae, Tambangan Tonga, Tambangan Pasoman, Rao-rao Dolok, Rao-rao Lombang, Simangambat dan Panjaringan, berubah total. 

Jembatan Tambangan sebagai penghubung utama menuju pusat kecamatan dan kabupaten, putus total sehingga sangat mengganggu aktivitas rmmasyarakat.

Di tengah kesusahan ini, masyarakat membuat alat penyeberangan getek atau rakit selama lima bulan mulai Oktober hingga April 2019.

Karena sudah tak tahan bergetek, masyarakat melakukan musyawarah membangun jembatan gantung sementara. Beruntung, salah satu putra daerah yang menjadi anggota DPRD Madina mau mengeluarkan dana pribadinya.  

“Jembatan gantung atau rambin sepanjang 60 meter yang terbuat dari papan akhirnya ada. Kami bersyukur. Tidak bisa dilintasi mobil. Sepeda motor pun harus gantian melintas,” keluh Cein Lubis (39), Ketua Panitia Pembangunan Rambin Tambangan, Minggu (96/10/2019).

Warga masyarakat di tujuh desa ini pun mengandalkan jembatan gantung ini sejak April 2019 sebagai penghubung utama dengan dunia luar. 

“Kami kesulitan membawa hasil bumi dari kampung ke pusat kecamatan. Buah-buahan menjadi murah karena mahalnya biaya langsir dari desa ke pusat kecamatan,” jelas Cein.

Menurut warga Desa Tambangan Jae ini, biaya ojek pangkalan pun menjadi sangat mahal. Di mana Rp10 ribu per sekali antar dengan jarak tempuh hanya 3 Km. 

“Sementara biaya hasil getah hanya Rp5 ribu per kg. Dua kilo getah untuk sekali jalan,” ungkapnya.

Mirisnya lagi, warga yang menderita sakit butuh waktu lama jika ingin berobat pusat kecamatan. Sebab mobil yang tak bisa melintas terpaksa memutar jauh atau berobat ke rumah sakit yang berada di Ibukota Kabupaten Madina, Panyabungan.

Sementara Ali Syahrin (25), warga Desa Tambangan Jae menyebutkan, anak-anak sekolah menjadi terlambat setiap hari karena tak ada angkot yang mau membawa mereka ke sekolah.

“Anak sekolah menjadi terlambat masuk karena harus jalan kaki. Banyak anak sekolah mulai SMP, SMA dan pesantren yang bersekolah di ibu kota kecamatan dan Panyabungan,” jelasnya.

Sebenarnya, tidak saja warga tujuh desa yang menderita. Namun warga di pusat kecamatan juga menderita. Sebab, tanah wakaf masyarakat di sana berada di seberang Sungai Batanggadis.

“Kerandanya terpaksa dilepas. Hanya diikat ke papan. Bahkan, mayat ini pun sempat dibawa pakai getek. Sedih rasanya,” kata Ali Syahrin. 

Pantauan wartawan, Minggu (96/10/2019), beberapa warga terlihat hampir jatuh ke sungai disebabkan jembatan gantung yang bergoyang saat dilintasi.

Tinggi jembatan dari atas sungai sekitar 10 meter, dan sungai Batanggadis ini termasuk kategori dalam dan deras. (imc/rel)

Komentar

Berita Terkini