Nasrullah, Penulis, Pengamat dan Peneliti Sosial dan Hukum
Oleh: Nasrullah
REFORMASI di tubuh Polri kembali menggema, menandai kesadaran institusional untuk berbenah dan memperkuat marwah penegakan hukum di Indonesia. Namun gema perubahan itu seakan menggema sendiri di ruang sunyi, ketika institusi lain seperti TNI, Kejaksaan, dan Kehakiman belum menunjukkan gerak yang seirama.
Padahal, membangun negara hukum yang kokoh tidak cukup dengan membenahi satu pilar, sementara pilar lain dibiarkan rapuh. Reformasi sejati semestinya bersifat menyeluruh—menyentuh struktur, kultur, dan mentalitas seluruh aparatur penegak hukum—agar keadilan tidak lagi menjadi wacana, tetapi hadir sebagai kenyataan yang hidup di tengah rakyat. Ibarat rumah jika satu tiang (pilar) diperbaiki, sementara tiang yang lain juga sudah kropos, maka perbaikan itu tidak akan berjalan maksimal juga. Rumah tetap akan roboh menghimpit penghuni di dalamnya.
Reformasi Setengah Jalan
Pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto menginisiasi tim reformasi Polri, dan Kapolri merespon dengan membentuk tim akselerasi transformasi. Kedua langkah itu sinkron: negara dan institusi Polri sama-sama menyatakan kesiapan untuk memperbaiki kinerja, profesionalisme, serta penanganan keamanan yang humanis dan akuntabel. Namun, gema reformasi itu tampak berpusat pada Polri saja; pilar penegak hukum lain — Kejaksaan, Kehakiman, dan bahkan TNI — belum terdengar gerak serupa padahal masing-masing menghadapi masalah serius yang menjadi sorotan publik. Reformasi terkesan setengah berjalan, tidak holistik dan tidak fair.
Reformasi yang hanya berfokus pada satu institusi penegak hukum berisiko menghasilkan perbaikan parsial. Ekspektasi publik terhadap keadilan dan tata kelola pemerintahan tetap tak terpenuhi bila pilar lain dibiarkan tanpa pembaharuan. Polri, Kejaksaan, Kehakiman, dan TNI membentuk satu ekosistem penegakan hukum dan keamanan, kegagalan di salah satu elemen merembet dan merusak kepercayaan keseluruhan.
Kejaksaan sering dikritik soal independensi dalam penuntutan, konflik kepentingan, dan lambatnya transparansi proses. Kehakiman menghadapi persoalan integritas hakim, akses keadilan, serta persepsi ketidakberpihakan. TNI, meski tugas utamanya pertahanan, juga dikomentari terkait peran sipil-militer, akuntabilitas internal, dan adaptasi terhadap fungsi penegakan hukum yang semakin kompleks. Semua itu bukan sekadar cacat administratif — melainkan masalah struktur, budaya organisasi, mekanisme pengawasan, dan hubungan kelembagaan dengan publik.
Reformasi Harus Menyeluruh
Keadilan bukan produk satu lembaga. Reformasi lahir dari sinergi antar-lembaga yang berlandaskan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme. Reformasi sektoral berpotensi menciptakan ruang kebingungan, prosedur penegakan tumpang-tindih, saling lempar tanggung jawab, atau bahkan peluang korupsi baru. Hanya lewat pendekatan terintegrasi—yang mengharmoniskan aturan, mekanisme pengawasan, serta budaya kerja—reformasi dapat meneguhkan supremasi hukum secara nyata.
Reformasi bukan sekadar rapat nama atau tim kerja, tetapi pengakuan kolektif bahwa negara yang adil menuntut keberanian untuk melihat ke cermin—bukan hanya satu cermin di muka Polri, melainkan cermin besar yang memantulkan wajah seluruh sistem penegakan hukum yaitu Kejaksaan, Kehakiman dan TNI. Tanpa itu, gema reformasi akan jadi bunyi kosong. Gema itu bisa menjadi lagu perubahan yang dirasakan oleh setiap warga.
Reformasi tidak seharusnya berhenti di tubuh Polri, sebab matra penegak hukum lainnya—Kejaksaan, Kehakiman, dan bahkan TNI—juga menyimpan persoalan serius yang menuntut pembenahan. Kasus penyalahgunaan kewenangan, praktik korupsi, jual beli perkara, hingga lemahnya transparansi masih kerap muncul dari lembaga-lembaga tersebut dan menjadi sorotan publik. Kejaksaan dituding belum sepenuhnya independen dalam penuntutan, Kehakiman menghadapi krisis kepercayaan akibat dugaan suap dan putusan yang tidak mencerminkan rasa keadilan, sementara TNI dihadapkan pada isu akuntabilitas ketika berhadapan dengan warga sipil. Semua ini menandakan bahwa reformasi harus bersifat menyeluruh—bukan sekadar memperindah satu wajah hukum, melainkan membersihkan seluruh tubuh penegakan hukum agar keadilan kembali memiliki wibawa dan dipercaya rakyat.
Rasanya tidak adil jika hanya Polri yang digemakan untuk direformasi, sementara institusi lain seperti Kejaksaan, Kehakiman, dan TNI seakan diam atau didiamkan. Sebab, reformasi sejati bukan tentang mencari kambing hitam, melainkan membangun sistem yang bersih, adil, dan berintegritas secara menyeluruh. Ketika hanya satu lembaga yang diminta berubah, sementara yang lain tetap dalam kebisuan, maka keadilan akan pincang dan kepercayaan publik tetap rapuh.
Penutup
Reformasi penegakan hukum sejatinya bukan sekadar agenda kelembagaan, melainkan amanat moral bangsa. Negara hukum hanya akan tegak bila semua pilar yang menyangga keadilan berdiri sejajar dalam kesungguhan untuk berubah—tanpa pilih kasih, tanpa pengecualian. Pemerintah perlu juga membentuk tim reformasi institusi lain, atau setidaknya institusi lain juga membentuk tim reformasi internal senafas dengan responsif dan inisiasi yang dilakukan Kapolri.(***)
Penulis, Pengamat dan Peneliti Sosial dan Hukum