INILAHMEDAN - Stabat : Akibat rendahnya putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Stabat dalam kasus kerangkeng manusia dinilai telah mencederai keadilan dan melanggar hak azasi manusia (HAM). Majelis hakim PN stabat. (foto : dok)
" Vonis para terdakwa kasus kerangkeng manusia hanya 1 tahun 7 bulan penjara saja. Makanya, LBH Medan meminta Mahkamah Agung RI untuk memeriksa Hakim PN Stabat dan JPU harus banding," kata Wakil Direktur (Wadir) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Irvan Saputra didampingi Alma'adi dalam keterangan persnya di Medan, Jumat (02/12/2022).
Menurutnya, vonis tersebut merupakan sidang lanjutan dengan agenda register perkara nomor: 467/Pid.B/2022/PN.Stb dan 468/Pid.B/2022/PN.Stb terhadap empat terdakwa berinisial DP, HS, IS dan HS atas dugaan tindak pidana kekerasan/penyiksaan dikerangkeng manusia milik Bupati Langkat non aktif Terbit Rencana Perangin-Angin (TRP) yang mengakibatkan SG dan ASI (korban) meninggal dunia.
LBH Medan menduga putusan majalis hakim telah melanggar undang-undang dasar 1945, UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim yang diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku.
" Dalam hal ini tidak berperilaku adil dan berperilaku arif dan bijaksana serta tidak bersikap profesional serta majelis hakim tidak memperhatikan undang-undang nomor 5/1998 tentang pengesahan convention against torturead other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment (konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia)," paparnya.
Para terdakwa, tambahnya, yang telah divonis oleh majelis hakim dengan hukuman 1 tahun 7 bulan penjara dibacakan oleh ketua majelis Halida Rahardhini. Para terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan orang lain mati, yang dilakukan secara bersama-sama, sebagaimana dakwaan alternatif kedua.
" Majelis Hakim itu menetapkan permohonan restitusi untuk seluruhnya sejumlah Rp 530.000.000 (lima ratus tiga puluh juta rupiah) serta menyatakan barang bukti, satu gayung warna orange, satu buah selang warna orange dengan panjang satu meter, satu buah tikar dengan kondisi buruk, satu buah kain batik panjang warna cokelat, satu buah kursi panjang yang terbuat dari kayu, satu lembar surat pernyataan, dan satu unit mobil Toyota Avanza, dikembalikan ke JPU untuk digunakan dalam perkara TTPO," ungkapnya.
LBH Medan secara tegas meminta Mahkamah Agung R.I melalui Badan Pengawasnya dan Ketua Pengadilan Tinggi Medan untuk memeriksa Majelis Hakim perkara a quo karena diduga Majelis Hakim tidak adil dan tidak profesional serta tidak bijaksana dalam memeriksa perkara tersebut.
Sebagaimana ketentuan pasal 32A jo pasal 81B Undang-Undang Nomor 3/2009 tentang Mahkamah Agung seraya meminta kepada JPU dalam perkara a quo untuk melakukan upaya hukum banding guna terciptanya keadilan bagi korban dan masyarakat. (imc/joy)