|

Jadi Hiburan Alternatif Warga Kota, Drama Pongol & Marnortor Pukau Pengunjung PSB

Masyarakat Kota Medan begitu antusias menyaksikan Panggung Seni Budaya (PSB) yang digelar Dinas Pariwisata Kota Medan di seputaran Jalan Pulau Penang, Sabtu (06/05) malam. Tampaknya PSB kini telah menjadi hiburan alternatif gratis dan berkualitas bagi warga kota di akhir pekan. (foto: erni tanjung)

INILAHMEDAN - Medan: Dinas Pariwisata Kota Medan kali ini menyuguhkan drama Pongol dan Manortor di Panggung Seni Budaya (PSB) Jalan Pulau Penang, Sabtu (06/05/2017) malam. Penampilan seni dan budaya etnis Batak Toba ini memukau pengunjung.

Pantauan www.inilahmedan.com, tampaknya PSB telah menjadi alternatif hiburan gratis dan berkualitas bagi warga Kota Medan di akhir pekan. Dari tiga kali pagelaran yang ditampilkan, jumlah pengunjung terus bertambah.

Pada atraksi seni dan budaya dari etnis Batak Toba ini misalnya, pengunjung yang hadir cukup membludak untuk menyaksikan pertunjukan yang mengusung tagline Malam Toba Nauli.

Untuk memberikan kenyamanan bagi pengunjung, panitia terpaksa harus menambah jumlah tikar di depan panggung. Begitu pun masih banyak pengunjung yang harus rela berdiri sepanjang pertunjukan berlangsung.
“Enak juga ya. Malam minggu depan ke mari lagilah," ujar Iqbal, warga Kecamatan Medan Barat yang datang bersama keluarganya.

PSB diawali dengan penampilan musik dan lagu. Lagu-lagu yang dibawakan juga tak asing sehingga pengunjung ikut bernyanyi bersama. Setelah disuguhi dengan musik, lagu, dan tari, pengunjung disuguhi drama Pongol.

Saat pementasan drama dimulai, jumlah pengunjung makin bertambah. Alhasil, arus lalu lintas menjadi macet. Nah, dengan sigap panitia kembali menggelar tikar. Akhirnya para penonton yang tidak mendapat tempat bisa duduk lesehan di depan panggung.

Pertunjukan drama Pongol sarat dengan nilai tradisi. Drama mengisahkan tentang riwayat Manggalae yang mengorbankan jiwa dalam perang mempertahankan Negeri Uluan. Sang Panglima Perang yang tangkas melakukannya dengan kesadaran kesatria.

Sang ayah, Raja Rahat, berduka setelah melihat tanda Manggalae (putera mahkota, anak semata wayang) tak akan kembali.Tetua adat, datu-datu, dan tokoh masyarakat membuat patung. Roh Manggalae dipanggil dalam upacara. Sordam dan Gondang Sabangunan bertalu-talu menjadi pelipur lara sang ayah hingga ayam berkokok.  

Legenda ini bertahan walau zaman terus bergerak membawa modernitas dan kecanggihan teknologi. Legenda ini bersua dengan situasi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang mengubah wajah peradaban masyarakat Danau Toba.

Setelah suguhan drama ini, pengunjung menjadikan dua patung si Gale-Gale untuk menjadikan objek selfie. (erni)


Komentar

Berita Terkini