|

Begitu Bergegasnya Waktu...


Seperti baru kemarin kita meninggalkan perjuangan itu. Sepenggal jejak yang belum pudar benar, tapi kini datang lagi menghampiri, membentuk jejak-jejak baru, saban tahun. Itu kerap berulang. Oleh hari kemarin itu, barangkali, kita akhirnya cukup sadar bagaimana kemudian harus bersikap untuk mengukir sebentuk sikap, pandangan, atau pemahaman, yang mengejawantahkan 'keikhlasan'.

Hari kemarin itu bakal hadir kembali. Bila ada yang beranggapan kalau ia didoktrin sebagai hari kemenangan, atau hanya diyakini sebagai ritual pengekangan tahunan, itu sah-sah saja. Justeru bagi saya, keutamaan puasa Ramadan, justeru lebih dari sekadar itu. Ia tidak bisa dimaknai dengan rangkaian kata. Atau disederhanakan dengan dengan sebaris kalimat takzim. Atau apa saja hal-hal yang bisa membuatnya lebih bisa dimengerti dan dipahami.

Toh, kehadiran Ramadan bisa menyentuh hati setiap insan, hingga menerabas ke kedalaman lautan samudera hatinya yang paling jauh. Ia bisa berada di sana untuk selamanya, atau bisa saja lenyap dengan cepat tanpa sebab atau firasat. Itu tergantung bagaimana sikap insan itu sendiri untuk memelihara dan merawatnya baik-baik.

Ramadan, sama seperti pada tahun-tahun sebelumnya, adalah rangkaian waktu yang tidak pernah berubah sepanjang masih ada nafas dunia. Terserah saja bagaimana orang menyikapi kehadirannya, mengisi hari-hari yang dilaluinya, dan akhirnya tetap saja pergi meninggalkan kita. Sebagian ada yang tak rela dengan gejolak hati yang resah kapan dia menghampiri lagi. Tapi waktu adalah rangkaian perjalanan. Di antara waktu, ada drama, komedi dan tragedi. Meski begitu, dia datang dan pergi begitu bergegas.

Sebagian kita pernah menyambut Ramadan dengan penuh suka cita. Ibarat kekasih tambatan hati yang lama tak menghilang, kemudian ia memberi kabar untuk datang. Ia, tentu, kita sambut dengan segepok harapan dan impian. Namun keikhlasan seperti menjadi taruhan ketika ia pamit lagi - setelah sebulan penuh bersua rupa - untuk waktu sebelas bulan berikutnya.

Ikhlas, pada hakikatnya, adalah hasil dari perjuangan hati setelah kita menyikapi sebuah peristiwa yang hilir mudik yang semata-mata karena Allah.

Puasa Ramadan mampu membentuk sikap semacam itu. Ia membuat kita ikhlas berlapar-lapar dan berhaus-haus dengan sikap kerelaan yang tidak dibuat-buat. Dari sanalah, mungkin, kekuatan spiritual perlahan terbentuk. Justeru sebagaian orang - tentu saja membuat saya sempat tercengang - sebuah peristiwa lapar dan dahaga, bentuk pengekangan hawa nafsu lainnya pada puasa Ramadan, malah mereka anggap sebagai sebuah kenikmatan. Kadarisasi keimanan mereka seperti itu memang jarang terjadi di zaman sekarang ini.

Dan, Ramadan itu. Kehadirannya kian mendekat. Rasanya, dia seperti baru kemarin pergi dan kini datang lagi. Ramadan tetap saja muncul dengan nuansa yang sama, meski tetap saja ada orang yang menyambutnya dengan cara berbeda. Toh ia tetap membentuk jejak-jejak baru yang akan ditinggalkannya kelak, dan ini, bagi saya, menyisakan sebuah pertanyaan yang jawabannya terus saya cari tapi masih sulit untuk saya pahami: keikhlasan. (Bambang Sri Kurniawan Srg)
Komentar

Berita Terkini