|

(OPINI:) Hukum di Kantong Saku Baju

Oleh: Nasrullah
(Akademisi dan Peneliti Hukum-Sosial)


“Hukum di Kantong Saku Baju” adalah metafora kritik sosial tentang merosotnya martabat hukum yang tidak lagi berdiri tegak sebagai panglima keadilan, melainkan diselipkan di kantong kecil kekuasaan dan kepentingan. Hukum yang seharusnya mengatur, membatasi, dan melindungi, justru menjadi benda praktis yang dapat dikeluarkan saat dibutuhkan dan disimpan kembali ketika mengganggu kenyamanan pemiliknya.

Ketika hukum diperlakukan layaknya aksesori—ringan, fleksibel, dan mudah dilipat—siap digunakan untuk menekan yang lemah, tetapi menghilang ketika berhadapan dengan yang kuat. Dalam “kantong saku baju”, hukum kehilangan ketegasan moral dan nurani publiknya, berubah menjadi alat transaksional, bukan instrumen keadilan. Tulisan ini mengajak pembaca merenung: apakah hukum masih menjadi rumah bersama, atau sekadar barang bawaan pribadi yang mengikuti ke mana kekuasaan melangkah.

Keadilan dalam Saku

Keadilan dalam Saku adalah lanjutan tafsir kritis dari gagasan “Hukum di Kantong Saku”—sebuah alegori tentang bagaimana keadilan tidak lagi lahir dari kejernihan nurani, integritas moral, dan keberanian etis, melainkan ditakar oleh ketebalan isi saku dan kecakapan pemiliknya membaca momentum. Dalam lanskap ini, keadilan tidak berdiri sebagai prinsip yang otonom, tetapi sebagai objek yang dapat dibawa, disembunyikan, atau dikeluarkan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan kepentingan.

Narasi keadilan dalam saku menggambarkan pergeseran mendasar: keadilan tidak lagi bekerja sebagai nilai yang mengoreksi kekuasaan, melainkan justru tunduk pada logika kekuasaan itu sendiri. Ukurannya bukan lagi benar atau salah, adil atau zalim, melainkan cukup atau tidak cukup, menguntungkan atau merugikan. 

Uang kertas dan kepentingan menjadi bahasa baru yang lebih fasih dipahami daripada argumentasi hukum dan pertimbangan moral. Dalam kondisi demikian, hukum tampil bukan sebagai penjaga jarak antara kekuasaan dan kesewenang-wenangan, tetapi sebagai instrumen yang lentur, dapat dilipat, dan mudah disesuaikan dengan bentuk saku pemiliknya.

Hukum lalu menjadi mahal bukan karena kualitas normatifnya, kecermatan rasionalnya, atau kedalaman keadilannya, melainkan karena nilai tawarnya dalam transaksi kepentingan. Ia dihargai bukan karena keagungannya, tetapi karena kegunaannya. Mahal bagi mereka yang membutuhkannya sebagai pelindung, murah bagi mereka yang menggunakannya sebagai senjata. Dalam saku yang sama, hukum bisa menjadi tameng atau pisau, tergantung siapa yang menggenggam dan kapan ia dikeluarkan.

Keadilan dalam Saku

Mempertanyakan ulang makna keadilan dalam ruang publik yang telah terdistorsi: ketika keadilan hanya hadir bagi mereka yang memiliki saku, sementara yang tak bersaku harus puas dengan janji moral yang kosong. Tulisan ini bukan sekadar gugatan terhadap praktik hukum, melainkan cermin getir tentang runtuhnya etika bersama—bahwa keadilan telah direduksi dari cita-cita luhur menjadi barang bawaan pribadi, yang nasibnya sepenuhnya bergantung pada isi dan kepentingan di balik saku itu sendiri.

Penutup

Sebagai penutup dari seluruh rangkaian kajian ini, satu kesadaran pahit tak dapat dielakkan: hukum telah bergerak menjauh dari makna asalnya sebagai penopang keadilan, dan perlahan menetap dalam ruang yang lebih sempit—ruang kepentingan, ruang tawar-menawar, ruang transaksi. Ia tidak lagi sepenuhnya dipahami sebagai sistem nilai yang mengikat nurani publik, melainkan sebagai mekanisme yang dapat diatur, disesuaikan, bahkan dinegosiasikan. Pada titik inilah hukum kehilangan ketegangan moralnya; ia tetap tegak secara formal, tetapi rapuh secara etis.

Hukum kini kerap ditanyakan bukan lagi tentang apa yang adil, melainkan mengapa harus ditegakkan dan berapa harganya. Pertanyaan tentang benar dan salah dikalahkan oleh kalkulasi untung dan rugi, oleh hitung-hitungan pragmatis yang dingin. Proses hukum berubah menjadi forum legitimasi kepentingan, bukan arena pencarian kebenaran. Ia hadir dalam bahasa prosedur yang rapi, tetapi kosong dari keberpihakan pada keadilan substantif.

Dalam ruang yang sama, hukum juga ditarik ke dalam pertanyaan tentang siapa dan untuk apa. Siapa yang diadili, siapa yang dilindungi, dan untuk kepentingan apa hukum dijalankan. Identitas subjek hukum tidak lagi netral; ia dibaca melalui posisi sosial, kekuatan ekonomi, dan kedekatan dengan pusat kekuasaan. Hukum lalu bekerja selektif—tajam ke bawah, tumpul ke atas—bukan karena kekurangan norma, tetapi karena norma itu sendiri telah diletakkan di bawah kendali kepentingan.

Pada akhirnya, hukum berdiri di persimpangan yang paling sunyi: antara nasib jabatan dan nasib keadilan. Ketika jabatan dipertaruhkan, hukum kerap diminta menyesuaikan diri; ketika keadilan menuntut keberanian, hukum justru ditarik mundur demi stabilitas dan keamanan posisi. Di sinilah tragedi terbesar hukum terjadi—bukan karena ia tidak tahu apa yang adil, melainkan karena ia memilih untuk tidak menegakkannya. 

Maka, selama hukum terus dibiarkan hidup dalam logika transaksi, keadilan akan tetap menjadi korban, dan hukum hanya akan dikenang sebagai alat yang pernah menjanjikan keadilan, tetapi gagal menjaganya.(***)

Komentar

Berita Terkini