|

(OPINI:) Transformasi Polisi Menjadi Agen Rasionalitas Publik


Oleh: Nasrullah


Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, secara resmi melantik sepuluh anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian pada tanggal 7 November 2025. Pelantikan ini menandai dimulainya era baru reformasi kepolisian di Indonesia, yang diletakkan langsung di bawah mandat kepresidenan. 


Kehadiran komisi tersebut mencerminkan tekad politik negara untuk menata ulang institusi kepolisian agar lebih profesional, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan publik. Meskipun sebelumnya Kapolri telah membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri yang diketuai oleh Komjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana yang juga menjabar sebagai Kalemdiklat Polri, namun keberadaan kedua tim ini tidaklah bersifat tumpang tindih. Sebaliknya, keduanya berpotensi bersinergi dalam mempercepat reformasi kelembagaan dan kultural Polri menuju organisasi penegak hukum yang modern, berintegritas, dan berpihak pada keadilan.

Transformasi Polisi Agen Rasionalitas

Transformasi polisi menjadi agen rasionalitas publik bukanlah proses spontan atau administratif belaka, melainkan proyek institusional yang kompleks, memerlukan rekayasa sistemik yang menyentuh struktur, nilai, dan praktik operasional kepolisian. Dalam perspektif teori organisasi modern dan pemerintahan rasional (modern governance), proses transformasi ini menuntut kehadiran sejumlah unsur praktis yang saling berkaitan dan berfungsi secara sinergis.

Dalam konstruksi negara hukum modern, polisi tidak lagi dipahami semata-mata sebagai instrumen koersif negara (coercive instrument) atau sekadar mesin birokrasi yang menjalankan perintah secara mekanis. Lebih dari itu, kepolisian merupakan institusi publik yang idealnya berperan sebagai agen rasionalitas publik—yakni pelaksana kebijakan dan praktik sosial yang berlandaskan pada nalar publik, transparansi prosedural, legitimasi normatif, serta keterbukaan terhadap mekanisme kontrol masyarakat. Dalam kapasitas tersebut, kepolisian tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menjadi penjamin keteraturan sosial melalui tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis, legal, dan rasional.

Konsep “agen rasionalitas publik” ini berpijak pada tiga ranah rasionalitas yang saling berkelindan. Pertama, ranah rasionalitas organisasi, yang menuntut adanya tata struktur, sistem kerja, dan prosedur operasional yang efisien, transparan, serta berbasis prinsip rule of law. Polisi, dalam hal ini, bukan hanya pelaksana perintah, tetapi juga aktor yang memahami dan menafsirkan hukum dalam konteks situasi sosial yang dinamis. Kedua, dimensi rasionalitas politik-normatif, yang menegaskan pentingnya legitimasi dan akuntabilitas publik. Polisi harus bertindak dalam koridor mandat demokratis, di mana setiap tindakan memiliki dasar legitimasi dari kehendak hukum dan persetujuan masyarakat. Ketiga, aspek rasionalitas teknis, yaitu kemampuan profesional dalam penyelidikan, pemecahan masalah, dan penggunaan teknologi hukum untuk memastikan kebenaran substantif serta perlindungan hak asasi manusia.

Secara teoretik, gagasan ini sejalan dengan pandangan Jürgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1984), yang menempatkan rasionalitas komunikatif sebagai basis legitimasi tindakan sosial. Polisi, dalam kerangka ini, tidak sekadar bertindak secara instrumental, melainkan harus membuka ruang deliberatif—mendengarkan, menimbang, dan menilai berdasarkan argumentasi rasional yang dapat diterima publik. Pendekatan ini memperkuat pandangan David H. Bayley (2006) dalam Changing the Guard: Developing Democratic Police Abroad, bahwa kepolisian demokratis hanya dapat terbentuk jika aparat penegak hukum menginternalisasi nilai-nilai akuntabilitas, transparansi, dan orientasi pelayanan publik.

Profesionalisme polisi yang berbasis pada rasionalitas publik akan memperkuat kepercayaan masyarakat dan mengurangi praktik kekerasan koersif yang tidak perlu. Dalam konteks normatif, hal ini menegaskan bahwa kepolisian harus menjadi agen rasional yang menyeimbangkan antara kekuasaan dan moralitas, antara penegakan hukum dan perlindungan warga negara.

Dengan demikian, polisi sebagai agen rasionalitas publik merupakan simbol transformasi kelembagaan dari aparatus koersif menuju institusi deliberatif dan reflektif, yang menegakkan hukum dengan nalar, bukan dengan ketakutan; dengan legitimasi publik, bukan dengan paksaan; dan dengan tanggung jawab moral, bukan sekadar kepatuhan prosedural.

Transformasi Legitimasi Moral

Tyler T. Tom (2015) dalam studi risetnya berjudul The Impact of Psychological Science on Policing in the United States: Procedural Justice, Legitimacy, and Effective Law Enforcement menjelaskan, bahwa efektivitas institusi kepolisian tidak lagi diukur semata dari kemampuan menekan angka kejahatan atau menegakkan sanksi, melainkan dari sejauh mana masyarakat memandang kepolisian sebagai lembaga yang memiliki legitimasi moral dan sosial.

Temuan empiris Tyler menandai pergeseran paradigma dari “compliance by fear” menuju “compliance by fairness.” Hasil risetnya ini menunjukkan bahwa masyarakat akan lebih patuh, lebih bersedia bekerja sama, dan lebih aktif melaporkan kejahatan ketika mereka mempersepsikan bahwa polisi bertindak secara adil, transparan, dan menghormati martabat manusia. Dengan demikian, kepatuhan hukum tidak bersumber dari rasa takut terhadap hukuman, tetapi dari pengakuan terhadap keabsahan moral tindakan polisi.

Jonathan-Zamir & Weisburd (2019) dalam artikelnya berjudul The Effects of Police Legitimacy on Cooperation and Compliance: A Meta-Analysis, memperkuat kesimpulan tersebut dengan bukti konsisten bahwa keadilan prosedural (procedural justice) memiliki korelasi positif yang kuat dengan tingkat kepatuhan, kepercayaan, dan keterlibatan warga dalam menjaga keamanan. Artinya, rasionalitas polisi sebagai institusi publik harus berakar pada logika keadilan prosedural, bukan sekadar rasionalitas instrumental atau kekuasaan koersif.

Dalam kerangka keadilan prosedural, terdapat empat prinsip utama yang menjadi pilar etis bagi polisi sebagai agen rasionalitas publik. Pertama, perlakuan yang penuh hormat (respectful treatment), yaitu memastikan bahwa setiap warga diperlakukan dengan martabat dan pengakuan terhadap hak-haknya. Kedua, keterbukaan dalam alasan keputusan (transparency of reasoning), di mana setiap tindakan kepolisian harus dapat dijelaskan secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Ketiga, netralitas prosedural (procedural neutrality), yang mengharuskan polisi bertindak tanpa bias politik, ekonomi, atau sosial. Keempat, partisipasi warga (voice or participation), yang memberi ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan pandangan atau keberatan mereka sebelum keputusan dibuat.

Dengan demikian, polisi yang berfungsi sebagai agen rasionalitas publik adalah polisi yang berkeadilan secara prosedural, bukan semata-mata efektif secara teknis. Ia menegakkan hukum bukan hanya untuk menaklukkan pelanggar, tetapi untuk memulihkan kepercayaan, memperkuat kohesi sosial, dan menjaga legitimasi moral negara hukum.

Penutup

Selamat menunaikan tugas kepada Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian yang baru saja dilantik oleh Presiden Republik Indonesia, serta kepada Tim Transformasi Reformasi Polri yang dibentuk oleh Kapolri Republik Indonesia. Kehadiran dua tim strategis ini menandai babak baru dalam perjalanan pembaruan institusi kepolisian nasional. Meskipun terbentuk melalui dua mandat berbeda, keduanya berakar pada semangat yang sama—yakni tekad untuk membangun Polri yang kuat secara kelembagaan, profesional dalam kinerja, dan modern dalam tata kelola.

Sinergi antara komisi bentukan Presiden RI dan tim yang diprakarsai oleh Kapolri merupakan simbol keselarasan antara visi politik negara dan misi institusional kepolisian. Keduanya sama-sama bergerak dalam kerangka besar reformasi menyeluruh, tidak hanya menyentuh dimensi struktural dan teknokratis, tetapi juga kultural dan etis, demi melahirkan Polri yang berintegritas, humanis, serta adaptif terhadap tuntutan zaman.(***)


Penulis, Peneliti Hukum dan Sosial

Komentar

Berita Terkini