Penulis Adalah Peneliti Masalah Hukum dan Sosial
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terbaru Nomor. 114/PUU-XXIII/2025 mengenai penempatan anggota Polri di luar institusi kepolisian membuka kembali perdebatan mendasar tentang batas-batas kewenangan, integritas kelembagaan, dan prinsip profesionalisme dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Putusan tersebut menegaskan bahwa praktik rangkap jabatan atau penempatan personel kepolisian pada lembaga non-kepolisian harus diletakkan dalam koridor hukum yang jelas, transparan, dan akuntabel. Dengan kata lain, negara tetap dapat memanfaatkan kapasitas profesional anggota Polri untuk kepentingan yang lebih luas, namun mekanisme penugasan tersebut tidak boleh lagi dibiarkan berjalan tanpa regulasi yang memadai.
MK tidak melarang penugasan, tetapi melarang penugasan tanpa kejelasan status hukum yang menjadikan anggota Polri secara simultan berada dalam dua garis komando dan dua rezim hukum. Ini membuka ruang untuk mekanisme secondment asalkan statusnya jelas, tegas, dan diatur oleh UU atau PP. Putusan tersebut tidak menutup ruang bagi Polri untuk berkontribusi pada lembaga negara lain, tetapi menuntut adanya kerangka hukum yang lebih tertib, proporsional, dan menjamin akuntabilitas. Dalam konteks inilah konsep secondment memperoleh relevansi konstitusional: negara tetap dapat memanfaatkan kompetensi profesional anggota Polri untuk kepentingan strategis di luar fungsi penegakan hukum, tanpa harus memutus hubungan kedinasan atau mengorbankan prinsip netralitas.
Selama ini, ketiadaan regulasi khusus membuat penempatan anggota Polri ke institusi lain sering dipersepsikan sebagai bentuk rangkap jabatan yang problematis, padahal secara substansial banyak tugas lintas-sektor yang justru membutuhkan keahlian teknis, disiplin operasional, dan kapasitas investigatif yang dimiliki Polri. Oleh karena itu, tantangannya bukan pada boleh atau tidaknya penugasan tersebut, melainkan pada bagaimana negara membangun mekanisme secondment yang menjaga integritas kelembagaan Polri sekaligus memenuhi kebutuhan administrasi negara yang semakin kompleks.
Dengan hadirnya regulasi secondment yang komprehensif—mengatur syarat, batasan, durasi, dan pengawasan—Polri dapat menjalankan perannya secara profesional di berbagai sektor tanpa menimbulkan kerancuan hukum. Pengaturan ini tidak hanya menjawab amanat Putusan MK, tetapi juga memastikan bahwa kontribusi Polri di luar institusinya tetap ditempatkan dalam koridor konstitusional yang transparan, berintegritas, dan bermanfaat bagi kepentingan publik.
Perlunya Secondment Polri
Secondment merupakan bentuk penugasan sementara yang diberikan kepada seorang pegawai atau anggota institusi untuk melaksanakan tugas di lembaga lain tanpa memutuskan hubungan kepegawaiannya dengan institusi asal. Dalam perspektif administrasi negara modern, konsep ini dimaknai sebagai mekanisme penempatan temporer dalam jangka waktu tertentu, di mana individu yang ditugaskan tetap tunduk pada status, disiplin, serta kode etik lembaga induk, namun menjalankan fungsi tertentu bagi instansi penerima sesuai kebutuhan strategis negara.
Dengan karakter demikian, secondment tidak dapat dikategorikan sebagai rangkap jabatan, perpindahan karier permanen, ataupun perpindahan loyalitas kelembagaan. Ia merupakan instrumen tata kelola pemerintahan yang memungkinkan negara mengerahkan keahlian teknis dan profesional yang dimiliki suatu institusi—misalnya Polri—untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang lintas-sektoral dan semakin kompleks.
Meski terminologi “secondment” belum muncul secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, landasan konseptual dan prinsip hukumnya telah mengakar dalam berbagai perangkat hukum yang membuka ruang bagi penugasan anggota Polri di luar institusinya. Prinsip-prinsip administrasi publik kontemporer seperti delegation, assignment, dan functional transfer memberikan legitimasi bagi pola penugasan antarlembaga tanpa mengubah status kepegawaian. Prinsip tersebut sejalan dengan doktrin rechtmatigheid—bahwa setiap tindakan pemerintahan harus sah menurut hukum—serta doelmatigheid—bahwa tindakan tersebut harus dilandaskan pada pertimbangan efektivitas, efisiensi, dan kemanfaatan bagi publik.
Dengan demikian, secondment lahir sebagai solusi administratif yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga relevan secara fungsional. Penugasan sementara anggota Polri pada lembaga lain dapat dipahami sebagai bentuk penguatan kapasitas negara, selama mekanisme tersebut diatur secara jelas, diawasi secara ketat, dan ditempatkan dalam kerangka etika institusional yang menjaga profesionalitas Polri sekaligus mendukung efektivitas penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Masalah yang Timbul Pasca-Putusan MK
Ketiadaan mekanisme secondment yang sah pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan tiga persoalan fundamental bagi penyelenggaraan pemerintahan modern. Kekosongan pengaturan ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan menyentuh inti arsitektur keamanan nasional, efektivitas birokrasi, dan kesinambungan fungsi negara. Ketiga persoalan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
Vacuum of Expertise
Di banyak lembaga strategis negara—seperti BNN, BIN, BNPT, Bakamla, Kemenko Polhukam, hingga berbagai satuan tugas lintas-sektor—kompetensi teknis yang melekat pada Polri bukan sekadar pelengkap, tetapi merupakan fondasi operasional. Keahlian dalam penyidikan, intelijen, kriminalistik, digital forensics, counter-terrorism, hingga cyber law enforcement merupakan kualifikasi yang tidak dapat serta-merta digantikan oleh ASN umum atau teknokrat administratif.
Tanpa mekanisme secondment, negara menghadapi kekosongan keahlian (vacuum of expertise) yang secara langsung melemahkan kemampuan institusi tersebut menjalankan mandatnya. Dalam kerangka negara modern, keahlian profesional bukan hanya sumber daya, melainkan determinan kapasitas negara (state capacity) dalam menjaga keamanan dan supremasi hukum. Putusan MK tidak sepantasnya dibaca sebagai penghalang kontribusi kompetensi Polri, tetapi sebagai dorongan agar mekanisme legal yang menopang kontribusi tersebut diperkuat.
Disruption of Coordination
Ketiadaan secondment berpotensi mengganggu koordinasi lintas sektor yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan keamanan kontemporer. Banyak isu strategis—narkotika, terorisme, kejahatan siber, penyelundupan lintas negara, dan perlindungan ruang digital—berkarakter multidimensional dan tidak dapat ditangani oleh satu institusi secara tunggal.
Jika anggota Polri diwajibkan mengundurkan diri dari dinas kepolisian setiap kali diberi penugasan lintas lembaga, maka terjadilah disruption of coordination: hilangnya kesinambungan pengetahuan, putusnya rantai komando, dan melemahnya jejaring informasi antar-lembaga. Padahal, efektivitas kebijakan keamanan nasional sangat bergantung pada keberlanjutan koordinasi, integrasi data, dan interoperabilitas antar-institusi. Dengan demikian, absennya secondment bukan hanya persoalan teknis penugasan, tetapi ancaman langsung terhadap efektivitas national security architecture.
Kekosongan Hukum (Legal Vacuum)
Putusan MK menimbulkan legal vacuum apabila negara tidak segera menghadirkan aturan pengganti yang mengatur mekanisme penugasan anggota Polri di luar institusinya. Dalam praktik internasional, secondment merupakan model standar tata kelola pemerintahan, digunakan untuk menjaga fleksibilitas birokrasi sekaligus memastikan bahwa sumber daya profesional dapat dimobilisasi secara cepat dan terukur.
Tanpa regulasi baru, negara justru kehilangan instrumen yang secara global dianggap esensial bagi pemerintahan modern. Kekosongan hukum ini juga berpotensi menciptakan ketidakpastian: tugas lintas lembaga menjadi tidak memiliki dasar legal yang kuat, pejabat yang ditugaskan berada dalam posisi rawan pertanggungjawaban, dan institusi penerima tidak memiliki pedoman mengenai batas kewenangan maupun durasi tugas. Dalam perspektif rule of law, kondisi semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Dari ketiga persoalan tersebut, terlihat bahwa absennya mekanisme secondment bukan sekadar kehilangan satu opsi penugasan, tetapi berimplikasi langsung pada kemampuan negara dalam menjalankan fungsi esensialnya. Karena itu, pasca-Putusan MK, pembentukan regulasi secondment bukan pilihan; ia merupakan keharusan konstitusional, administratif, dan fungsional untuk menjaga efektivitas negara dan profesionalitas Polri dalam menjalankan tugas lintas-sektor.(***)
.
