|

(OPINI:) SAVE POLICING



Oleh: Nasrullah


SAVE POLICING bukanlah seruan untuk menuding atau menelanjangi kelemahan lembaga kepolisian, melainkan ajakan untuk melihat dengan mata yang lebih adil—bahwa di balik setiap kekurangan, selalu ada prestasi, dedikasi dan pengabdian yang layak diapresiasi


Tulisan ini hendak membuka cakrawala pemikiran kita, bahwa reformasi sejati tidak boleh berhenti pada satu institusi. Ia harus menjadi gerak bersama, yang menyentuh seluruh sendi kekuasaan dan pelayanan publik seperti TNI, Kementerian, Partai Politik, DPR, Kejaksaan, hingga Kehakiman. Sebab, bangsa ini hanya akan tegak bila semua lembaga berdiri di atas nilai yang sama—kejujuran, integritas, dan keberanian untuk memperbaiki diri.

Konsep Save Policing janganlah lahir dari semangat konfrontatif dan rasa kebencian, melainkan dari keinginan luhur untuk menjaga, merawat, memperbaiki, dan mempertahankan integritas lembaga kepolisian dari ancaman paling serius yang dihadapinya hari ini yaitu kuatnya transformasi kejahatan yang berbasis high crime dan cyber crime. Sebab, ketika kepercayaan itu runtuh, maka seluruh legitimasi penegakan hukum ikut goyah; dan hukum tanpa kepercayaan hanyalah kekuasaan tanpa makna.

Dorongan kuat untuk mereformasi institusi kepolisian tidak semestinya dibaca sebagai upaya merendahkan, apalagi meruntuhkan wibawa dan martabat lembaga ini. Reformasi sejati justru lahir dari cinta yang kritis — dari kesetiaan yang tidak buta, tetapi berani menegur demi kebaikan. Dalam perspektif ini, setiap kritik bukanlah palu penghancur, melainkan pahat peradaban yang berupaya memperkuat dan membentuk kembali wajah kepolisian yang merakyat, profesional, dan dipercaya. Sebab, menjaga kehormatan institusi tidak berarti menutup mata dari kekurangannya, tetapi justru berani memperbaikinya agar tetap tegak di tengah badai perubahan zaman.

Atas dasar niat baik inilah, The reform movement aims to save policing to strengthen the police in law enforcement bukan sekadar ungkapan idealistis, melainkan tekad yang harus diwujudkan secara sistemik. Maka Save Policing adalah ikhtiar kebangsaan: upaya menjaga agar hukum tetap berpijak pada moral, dan agar moral memiliki penjaga yang setia. Reformasi tidaklah melemahkan dan bukan perlawanan terhadap kepolisian, melainkan perlindungan, penguatan dan memperbaiki profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas terhadap kepolisian itu sendiri — agar tetap menjadi cahaya di tengah gelap, pelindung di tengah takut, dan penuntun di tengah jalan yang kian bercabang.

Reformasi Harus Semua

Norma hukum kita, sejatinya, telah tersusun dengan cukup baik; ia berdiri sebagai bangunan normatif yang kokoh di atas asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun, di antara teks yang luhur dan realitas yang muram, terdapat jurang yang lebar—jurang yang bernama implementasi. Di sanalah hukum sering kehilangan daya hidupnya, karena yang lemah itu bukanlah aturan, melainkan merawat dan menegakkannya dengan konsistensi dan nurani.

Dalam konteks ini, semangat reformasi tidak seharusnya diarahkan hanya pada tubuh Kepolisian. Polri bukan satu-satunya wajah dari sistem penegakan hukum; ia hanya satu bagian dari mozaik besar yang juga mencakup Kejaksaan, Kehakiman, dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Bahkan di tubuh TNI, bayang-bayang dilema dan kompleksitas kekuasaan juga menuntut ruang refleksi dan perbaikan yang sama. Maka, membebankan seluruh tanggung jawab krisis hukum pada Polri semata adalah bentuk penyederhanaan yang tidak adil, sekaligus pengabaian terhadap akar masalah yang lebih luas dan sistemik.

Reformasi sejati adalah kesadaran kolektif bahwa keadilan tidak mungkin tegak bila hanya satu pilar yang diperbaiki sementara yang lain dibiarkan retak. Hukum tidak hidup dalam ruang tunggal; ia tumbuh dalam ekosistem yang saling bersinggungan dan saling menopang. Karena itu, tidak saja Kepolisian yang harus di reformasi, tetapi Kejaksaan, Kehakiman dan TNI juga patut diperlakukan hal yang sama. Ibarat bangunan menegakkan tiang di atas tanah yang masih berguncang, maka semua tiang harus diperkuat. Hanya dengan reformasi yang menyeluruh—yang berani menyentuh setiap simpul kekuasaan hukum—barulah cita-cita hukum yang berkeadilan, bermanfaat, dan pasti dapat berdiri tegak, tidak sekadar sebagai teks, tetapi sebagai kenyataan yang dirasakan rakyat.

Reformasi Pemerintahan dan Lembaga Politik

Reformasi tidak dapat berhenti pada tataran norma hukum dan penegakannya semata. Ia harus menembus lebih dalam, merambah ke inti sistem pemerintahan dan praktik demokrasi yang menjadi fondasi politik bangsa. Sebab, hukum yang baik tak akan berdaya bila diapit oleh sistem politik yang pincang dan tata kelola pemerintahan yang rapuh. Lembaga-lembaga pemerintahan dan politik—dari kementerian, partai politik, DPR, hingga institusi-institusi publik lainnya—perlu disentuh oleh arus reformasi yang sama. Bukan sekadar mengganti struktur, tetapi membangun kembali jiwa pelayanan yang selama ini terperangkap dalam jaring birokrasi yang panjang, lamban, dan melelahkan rakyat.

Sistem politik kita yang menganut format multi-partai, alih-alih memperkaya demokrasi, justru sering kali melahirkan polarisasi yang membelah dan membelenggu aspirasi rakyat. Kepentingan publik kerap tersandera oleh negosiasi politik yang pragmatis, sementara meritokrasi—sebagai ukuran rasional dalam berdemokrasi—terpinggirkan oleh budaya kedekatan, garis keturunan, dan loyalitas personal. Akibatnya, kaderisasi politik tidak lagi menjadi proses pencarian putra terbaik bangsa, melainkan arena pewarisan kuasa dalam lingkaran sempit kekuasaan.

Dalam pusaran itu, kepolisian sering kali menjadi wajah yang paling tampak dari kegagalan sistemik ini—dihujani kritik seolah berdiri sendiri, padahal ia bekerja di tengah ekosistem pemerintahan dan politik yang turut membentuk perilaku dan praktik hukum. Kepolisian kerap disalahkan oleh sistem dan polarisasi yang dilakukan lembaga politik. Mengapa ? karena polisi sebagai garda dan pilar terdepan menjaga keamanan, ketertiban dalam masyarakat (Kamtibmas). Rasanya ada unfairness yang kerap diperlakukan pada institusi Kepolisian. Karena itu, membicarakan reformasi tanpa menyinggung politik dan birokrasi sama halnya dengan mengobati luka di permukaan tanpa menyentuh sumber penyakitnya. Reformasi sejati menuntut keberanian untuk menata ulang bukan hanya aparat penegak hukum, tetapi juga sistem pemerintahan dan demokrasi yang menopangnya, agar keadilan dapat hidup dalam negara yang beradab, bersih, dan berjiwa rakyat.

Penutup

Jika bangsa ini sungguh ingin mereformasi diri, maka reformasi itu harus menyentuh seluruh sendi kekuasaan dan pelayanan publik—tidak hanya berhenti pada institusi kepolisian. Sebab, selama lembaga lain tetap berjalan dengan wajah lama, persoalan akan terus berulang, dan pada akhirnya, Polri-lah yang kembali menjadi sasaran kemarahan rakyat. Kepolisian akan terus berbenturan dan dibenturkan, bukan karena semata kesalahannya sendiri, tetapi karena ia berdiri di garda terdepan berhadapan langsung dengan denyut frustrasi publik.
Maka, reformasi yang sejati haruslah bersifat menyeluruh—reformasi yang membebaskan kepolisian dari beban sistem yang timpang, sekaligus menghidupkan kembali keadilan yang sejati. Hanya dengan demikian, hukum dapat tegak bukan karena ditakuti, melainkan karena dipercaya; dan kepolisian dapat berdiri bukan sebagai tameng kekuasaan, tetapi sebagai pelindung rakyat yang setia dalam setiap denyut napas kehidupan bernegara.(***)

Penulis, Pemerhati dan Peneliti Hukum dan Sosial

Komentar

Berita Terkini