|

Kasus Kerangkeng Bupati Langkat Bentuk Perbudakan Modern

Kerangkeng milik Bupati Langkat TRP. (foto : dok) 
INILAHMEDAN - Medan : Pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat non aktif Terbit Rencana Perangin-angin (TRP) merupakan perbudakan modern. 

Direktur LBH melalui Irvan Sahputra selaku Wakil Direktur (Wadir), Sabtu (05/03/22), kasus perbudakan modern tersebut telah dilaporkan Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care) ke komnas HAM dan memasuki babak baru.

Terkait hasil pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM telah mengungkap tabir adanya dugaan penyiksaan, kekerasan dan perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat manusia.

Penyelidikan yang dipimpin komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam telah memeriksa 48 saksi yang terdiri dari penyidik KPK, Terbit Perangin-angin, penghuni, mantan penghuni kerangkeng beserta keluarganya, kepala dan dokter puskesmas, serta staf pemerintah desa. 

Dijelaskan bahwa kerangkeng tersebut sudah ada sejak 2012 dan saat ini ada 57 penghuni kerangkeng. Jumlah tersebut dibagi menjadi dua kerangkeng yang berukuran 6x6 meter dengan masing-masing sejumlah 30 penghuni dan 27 penghuni.

Ia mengatakan dari temuan Komnas HAM tersebut begitu mirisnya, sebab diduga ada 26 dugaan bentuk penyiksaan, kekerasan dan perlakuan yang merendahkan martabat terhadap para penghuni kerangkeng seperti dipukuli, ditempeleng, ditendang, disuruh bergelantungan dikerangkeng seperti monyet (gantung monyet), dicambuk anggota tubuhnya dengan selang. 

" Dua kerangkeng manusia serupa penjara yang terbuat dari besi diduga digunakan sebagai penjara bagi para pekerja sawit yang bekerja di ladang. Mereka disebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya," ujarnya. 

LBH Medan sebagai lembaga yang konsern terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia menduga tindakan yang dilakukan oleh Bupati Langkat merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM berat. Karena jika mengacu pada hasil temuan Komnas HAM dan LPSK, dugaan tindak penyiksaan atau kekerasan serta merendahkan harkat dan martabat manusia tersebut dilakukan secara terstruktur, sistematis dan sangat kejam ditambah lagi hal tersebut diduga dilakukan oleh penguasa.

" Seharusnya Bupati Langkat melindungi dan mensejahterakan rakyatnya, bukan malah sebaliknya yang mengakibatkan 6 orang meninggal dunia. Oleh karenanya LBH Medan menilai jika perkara a quo patut dibawa diadili di pengadilan HAM dan medorong LPSK memberikan perlindungan maksimal kepada korban dan saksi karena diduga rentan mendapatkan intimidasi," tegasnya. 

Pihaknya juga patut menduga kuat bahwasanya tindakan Bupati yang turut melibatkan oknum TNI dan Polri, telah melanggar pasal 1 Ayat (3), pasal 27 Ayat (1), pasal 28 A dan G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  1945 jo pasal 4 UU 39/1999. 

" Selain itu melanggar pasal 7 huruf b UU Nomo 26/2000 tentang Pengadilan HAM, pasal 3 DUHAM (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia/ United Nations Declaration of Human Rights), Undang-Undang Nomor 5/1998 Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia, pasal 6 Ayat (1) ICCPR (International Covenan Civil and Political Rights)," pungkasnya. (imc/joy) 


Komentar

Berita Terkini