|

Webincang Magister Ilmu Hukum UNPAB: Perguruan Tinggi Harus Bebas Predator Seks



INILAHMEDAN - Medan: Perguruan Tinggi harus melakukan langkah-langkah strategis untuk menghapus 3 dosa besar pendidikan yang dicanangkan Mendikbud Ristek Dikti Nadiem Makarim. Yakni kekerasan seksual, intoleransi dan perundungan (buly).

"Ini bagian dari peningkatan mutu Perguruan Tinggi dan Implementasi Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi," kata Ketua Program Studi Magister Hukum Pascasarajana Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB) Riza Zarzani pada kegiatan Webincang dengan topik: “Kesiapan Perguruan Tinggi dalam Penangan 3 Dosa Besar Pendidikan (Kekekrasan Seksual, Intoleransi dan Perundungan) yang digelar Selasa 14 Desember 2021 lalu.

Webincang tersebut menghadirkan narasumber Ratna Batara Munti Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional LBH APIK Indonesia, Aprilia Resdini dari Jakarta Feminist/SPACE UNJ, Cahyo Pramono Wakil Rektor UNPAB Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Hendry Aspan Kepala PPMU UNPAB dan Saiful Asmi Hasibuan Kepala Prodi Ilmu Hukum UNPAB.

Ratna Batara Munti dari Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional LBH APIK Indonesia menyampaikan persetujuan di mana isu censent menjadi unsur penting dalam kekerasan seksual.

Jika hubungan seksual atau aktifitas seksual disetujui oleh korban, kata Ratna, itu artinya perbuatan tersebut bukanlah merupakan kekerasan seksual, karena dilandasi “suka sama suka“ dan tidak ada  yang menjadi korban di sini.

Permendikbud PPKS, lanjutnya, mengatur kekerasan seksual bukan perbuatan seksual, sehingga aneh kalau frasa ”tanpa persetujuan korban” dihapuskan/dikeluarkan. Itu artinya Permendikbud PPKS tidak lagi mengatur kekerasan seksual tapi mengatur kegiatan seksual.

“Terakhir ini bukanlah menjadi fokus dan tujuan dari Permendikbud PPKS. Isu consent dalam kekerasan seksual merupakan isu universal, bukan berasal atau milik negara-negara barat. Karena bicara kekerasan seksual adalah bicara isu kemanusiaan yang melampaui batas-batas wilayah negara dan bangsa,” tegas Ratna Batara Munti.

Belajar dari Sudan, imbuh Ratna, Sudan telah belajar dari kesalahan mereka dan sudah melangkah maju. Sementara di negeri ini, jika kita membiarkan pengaturan perzinahan mencampuri dan masuk dalam aturan terkait kekerasan seksual seperti di Permendikbud, RUU Penghapusan  Kekerasan Seksual , bahkan di RUU KUHP (Perluasan pasal Perzinahan) akan menjadi persoalan, sebut Ratna.

Aprilia Resdini dari Jakarta Feminis/SPACE UNJ justru melihat, kekerasan seksual adalah perilaku atau pendekatan yang berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan, berbasis gender, dan termotivasi oleh bias gender. Ada dinamika kekuatan yang secara terus menerus mengingatkan akan kerentanan.

Elemen dalam kekerasan seksual menurut Aprilia terkait persetujuan, relasi kuasa, kontrol, serangan terhadap integritas/otonom.

Sementara Cahyo Pramono Rektor 1 Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni UNPAB menyebutkan, data dan contoh kampus perundungan di kampus ada 37.381 laporan kasus selama (2020-2021) dan 2.473 terjadi di dunia pendidikan.

Kasus perundungan itu, kata Cahyo  biasanya terjadi dalam masa orientasi mahasiswa, ungkapan seksi, rasis, dan kebercandaan dengan tujuan merendahkan oleh dosen, pemasangan berita palsu dan atau informasi bersifat privasi pada kanal kampus dengan tujuan untuk menyerang orang lain dan ancaman penyebaran foto atau rekaman tertentu.

Terkait tiga dosa, kata Cahyo, inilah yang menjadi PR Perguruan Tinggi, sehingga perlu memberikan pelayanan terbaik dengan membuat kebijakan/peraturan yang membuat nyaman para mahasiswa maupun dosen. Terus melakukan sosialisasi ketika mahasiswa dalam menghubungi dosen dengan baik, dan khusus di UNPAB perlu menerapkan budaya tamadun, mandiri, plus sangat ditekankan untuk berorganisasi.

Sedangka Henry Aspan Kepala PPMU UNPAB mengatakant, point penting dalam Kemendikbud  Ristek Dikti adalah jenis atau bentuk kekerasan seksual yang belum terakomodir.

Dalam peraturan Kemendikbud, kata Henry Aspan, ada 2 bab yang sangat fundamental, bab 2 memaparkan masa pencegahan yaitu adanya unsur penguatan tetang tata kelola yang mewajibkan pembentukan Satgas yang diberi kewenangan otonom atau Satgas ini sebagai partner.

Dalam Permendikbud, kata Henry Aspan, tidak dijelaskan secara signifikasi dan tidak dijelaskan pula kewenangan otonom atau partner, apakah harus membuat partner lembaga atau dibuat posko pengaduan.

“Artinya kampus wajib membentuk satgas mengenai pelecehan seksual dan kekerasan seksual berdasarkan Permendikbud melalui kemitraan.  Universitas Panca Budi sudah mempunyai kode etik mahasiswa dan dosen, sehingga bisa melakukan terobosan hukum, penemuan hukum, jelasnya.(imc/rel) 

Komentar

Berita Terkini