|

Di Balik Rencana Revisi UU ITE Terhadap Pasal Draconian



Oleh Dr Laksanto Utomo dan Dr Theo Yusuf MS

Pemerintah mempunyai inisiasi ingin mengajukan perubahan perbaikan terhadap pasal-pasal dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dinilai masyarakat luas ada yang mengandung pasal yang menakutkan, pasal karet, elastis. Dapat dimelarkan dan dapat dipendekkan. Singkat kata pasal-pasal itu disebut "draconian".

Draconian, dalam Black'law Dictionary (1999) disebut, "This term derives from Draco the name of the ancient Athenian law giver," gambaran dari kalimat itu kira-kira, di Athena - Yunani di masa silam, ada seorang bernama Draco, ia ahli membuat peraturan perundang-undangan. Peraturan yang dibuatnya, berisi sanksi keras, sadis, atau cukup menakutkan bagi masyarakat luas.

Oleh karenanya, para pemimpin yang punya niat "authoritarian" suka dengan pemikiran Draco. Dan para penjajah barat di masa lalu selalu menggunakan UU yang di dalamnya terdapat pasalnya mengandung pasal "karet atau area abu-abu" seperti penghinan kepada pimpinannya, seorang pejabat, atau orang berpengaruh, atau muatan subversi, ancaman dan lain-lain yang pada intinya, pasal itu hanya dapat di tafsir oleh para otoritas hukum yang direstui oleh negara.

Di dalam negara demokrasi abad ke 20 tujuan negara membahagiakan rakyatnya. Oleh AV Decey dalam introduction to the law of the Constitutions (Mirim Budiardjo, 2013) disebutkan, "absence of arbitrary", tidak membiarkan kesewenang-wenangan kekuasaan, dan equality before the law, adanya persamaan hak dimuka hukum. Simpelnya, hukum tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk pilih tebang kepada seseorang atau kelompok.

Negara-negara AS, Inggris dan Eropa menerapkan equalty before the law meskipun diterapkan belum optimal, namun konrol sosialnya relatif kuat jika terdapat kesewenang-wenangan penguasa. Oleh karenanya, negara dalam hal ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat undang-undang juga diharapkan menghindari pembuatan UU terdapat pasal-pasal "karet dan area abu-abu" yang dapat disalahgunakan oleh otoritas hukum dalam pemerintahan yang demokratis.

Presiden ke tujuh Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), setelah memerintah lebih dari 7 tahun, merasa "gerah" melihat sebagian masyarakat saling melaporkan kepada polisi, atas Pasal 27 dan 28 Undang-undang UU No 11 Tahun 2008 tentantang ITE, meski sudah direvisi lewat UU No 19 Tahun 2016, namun tetap juga menakutkan bagi kelompok sipil. Dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri, (15/2/2021) di Istana Negara, Jokowi, seperti yang dikutip Menko Polhukam, Prof Mahfud MD menyebutkan, "Pemerintah akan mengusulkan inisiatif untuk merevisi UU ITE." UU di rancang dan di gagas oleh Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun 2007/2008 banyak orang dan angota dewan bersemangat membuat UU itu, kata Mahfud menambahkan. Namun ternyata, oleh Presiden Jokowi UU itu banyak meresahkan masyarakat luas. Bahkan salah satu yang ikut menjadikan turunnya indek demokrasi Indonesia tahun 2020 antara lain karena minimnya kebebasan sipil untuk berpendapat. Apakah Pasal 27 dan 28 UU ITE itu yang menjadikan masyarakat takut untuk mengkritik pemerintah atau pihak lawan poltiknya?

Itu sebab, niat baik Presiden Jokowi untuk menginisiasi perbaikan Pasal draconian perlu diapresiasi, agar dia mempunyai legecy dibidang hukum dan politik selain tinggalan pembangunan ratusan kilo jalan tol yang dibangunnya. UU ITE Antisipasi Globalisasi Lahirnya UU itu dimaksudkan untuk mengantisipasi globalisas ekonomi dan adanya kemajuan teknologi informasi. Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia (warga dunia) dengan adanya globalisasi itu, setelah Indonesia pada 1 Juni 1995 bersama 122 negara lainnya menandatangani kesepakatan World Trade Organization (WTO) yang digagas tahun sebelmnya di Marekesh - Maroko. Oleh karena itu lahirnya UU ITE meski terlambat, sesungguhnya untuk mengantisipasi sistem perdagangan dunia yang menggunakan jaringan informasi teknologi tinggi dan Indonesia belum menyiapkan infrastruktur hukumnya.

Sutan Remy Syahdeini dalam pemberian pengantar buku Prof Romli Atmasasmita (2003) menyebutkan, setelah Indonesia ikut menandatangani WTO, tetapi tidak segera membuat UU tentang electronic commerce (ecommerce) sehingga banyak masyarakat yang dirugikan akibat penawaran barang lewat virtual world, atau syber space, atau pengiriman barang yang tidak sesuai yang dijanjikan. Kasus e-commerce, dan accounting fraud, dan penggelapan pajak seperti kasus Emron Corp dan perusahaan besar lainnya, belum mendapatkan penanganan hukum yang optimal, lantaran UU e-commerce belum dilahirkan. Namun apa yang terjadi, setelah UU ITE lahir? Justru di sektor perdagangan dan keuangan, kejahatan bank dan transaksi via on line lainnya yang banyak merugikan konsumen, tampak jarang sekali diselesaikan lewat aparat hukum lewat UU ITE. Padahal dalam Pasal 28 ayat (1) UU itu menyebutkan, " Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik."

Sanksinya jika merugikan konsumen dipidana penjara maksimal enam tahun. Artinya peblukasi atau laporan pajak membankrutkan diri dengan cara curang, dan transaski keuangan yang tidak sesuai termasuk menyebarkan kebohongan yang otomatis dapat dijerat Pasal 28 ayat (1) UU ITE.

Pasal UU ITE yang mengemuka justeru masalah penghinaan kepada orang-perorang, kelompok, perbuatan yang bernada fitnah, mengandung unsur sara dan lain-lain yang sifatnya pidana umum. Bukan kepada perdagangan yang merugikan konsumen, dan bukan pada penjebolan ATM atau penipuan lain via email dan transmisi elektronik lainnya. Itulah yang menjadikan mengapa pasal-pasal di dalam UU ITE perlu segera disempurnakan, guna meluruskan niat awal bahwa UU ITE lebih fokus pada kejahatan ekonomi, perdagangan dan keuangan, bukan pada pembatasan hak sipil untuk berpendapat secara bebas dalam bingkai negara demokrasi, di mana orang bebas dan bertanggung jawab melakukan kritik sesuatu yang salah, atau setidaknya dapat lebih disempurnakan.

Di Malaysia, pasal draconian, kata Mahatir Muhammad, juga masih banyak. Oleh karenanya, Perdana Menteri ke 7 di Malaysia itu, satu tahun setelah dilantik, ia akan mengkomunikaskan kepada DPR agar segera menyempurnakan pasal-pasal draconic.

Menurut Mahathir, banyak penyalahgunaan aparatur negara terhadap pasal dari UU yang ada di Malaysia, seperti dalam hal penangkapan, penyiksaan, pemanggilan lawan politiknya, sehingga hal itu perlu segera dihapus, tegasnya, seperti dilansir RTM Radio TV Malaysia (6/4/2019).

Pasal yang dinilai draconic adalah Pasal 27 utamanya ayat (3) dan (4) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Substansi ayat 2 menyangkut soal muatan penghinaan dan/atau pemcemaran nama baik seseorang. Bagaimana seseorang dapat bertafsir penghinaan dan atau pencemaran, tergantung aparatus negara. Sedang ayat empat mengandung muatan pemerasan dan/atau pengancaman, sehingga banyak orang takut berbeda pendapat dalam diskusi bebas, takut dilaporkan ke polisi. Dan Pasal 28 ayat (2) antara lain menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian, atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (Sara) sanksinya dapat dipidana maksimal 6 tahun.

Kedua pasal itu mempunyai ancaman 6 tahun penjara, seperti yang tertuang dalam Pasal 45 UU ITE. Dengan ancaman di atas 5 tahun, maka pejabat hukum qq polisi dapat langsung menangkap, menahan hingga batas waktu yang ditentukan 1 s/d 3 bulan, dan mengajukan lagi ke kejaksaan higga maju dalam sidang pengadilan.

Oleh karenanya, siapapun orangnya akan menjadi takut melakukan kritik, atau berbeda pendapat dengan lawan politiknya apa lagi dengan aratus negara karena polisi mempunyai kewenangan menangkap dan memenjarakan lewat pasal draconian yakni Pasal 27 dan 28 UU ITE. Itulah yang merisaukan Presiden Joko Widodo. Itulah yang menyebabkan indeks demokrasi Indonesia mendapat score 6,48 atau turun dari tahun sebelumnya 6,3 poin, yang dinilai para pengamat merupakan score terendah selama 14 tahun terakhir.

The Economist Intelligence Unit (ETU) yang berbasis di Inggris itu menempatkan score terendah Korea Utara 1,08 poin dan terbaik 9,81 yakni Negara Norwegia. Sedang score indeks persepsi korupsi versi Transparancy International Indonesia (TII) merilis hasil indeksnya (CPI) 2020 mendapatkan score 37/100 denganperingkat 102/180 negara. Score ini turun tiga poin dari tahun 2019 atau pencapaian tertinggi selama 25 tahun. Indonesia disamakan dengan Gambia yang dalam hal demokrasi, mestinya Indonesia lebih maju.

Pemerintahan Jokowi ingin menggenjot investasi asing dan lokal agar dapat membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Namun jika berbagai indeks demokrasi rendah dan persepsi korupsi tinggi, maka harapan Jokowi sulit terwujud. Itu sebab, dalam sisa masa jabatannya ia akan memperbaiki kinerjanya, utamanya dalam dua persepsi dimata internasional, yakni demokrasi dan korupsi. Namun satu hal yang perlu dikawal, jangan sampai apa yang disampaikan itu bersifat basa basi seperti yang dilontarkan Wakil Ketua Baleg anggota DPR dari F PPP A Baidowi.

Pemerintah harus segera menyampaikan draf akademisnya ke DPR agar dapat segera dibahas, bukan hanya sekadar melemparkan ide. Semoga Menko Polhukam Prof Mahfud MD sebagai salah satu tokoh reformasi hukum di Indonesia dapat menangkap substansi demokrasi yang substansial, yakni negara mampu mewujudkan kebahagian rakyatnya. Semoga.

Dr Laksanto Utomo, Dosen FH UPN dan Theo Yusuf Ms SH Anggota Peneliti LSHI

Komentar

Berita Terkini