|

Saksi Ahli: Perkara Pidana Sudah P21 Harus ke Pengadilan


INILAHMEDAN - Medan: Ahli hukum pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Edi Yunara menegaskan bahwa kasus yang pemberkasannya sudah dinyatakan lengkap memenuhi unsur formil dan materil (P21), seharusnya segera dilimpahkan ke pengadilan.

"Bila jaksa selaku penuntut umum berpendapat lain seharusnya berkasnya dikembalikan ke penyidik (kepolisian) untuk dilengkapi. Tapi kalau sudah dinyatakan P21, harus dilimpahkan ke pengadilan," kata Edi Yunara dalam sidang lanjutan praperadilan yang diajukan Armen Lubis terkait Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) yang diterbitkan Kejatisu atas kasus dugaan penipuan Mujianto.

Dalam persidangan praperadilan yang dipimpin hakim tunggal Pengadilan Negeri Medan, Ahmad Sayuti itu, Rabu (24/07/2019), Edi Yunara menjelaskan asas legalitas dalam hukum acara pidana.
"Sesuai Hukum Acara Pidana, asas legalitas dimaknai sebagai asas yang menyatakan bahwa setiap Penuntut Umum wajib menuntut setiap perkara yang sudah dinyatakan lengkap memenuhi unsur formil dan materil," tegas Edi, saksi ahli yang diajukan Armen Lubis, korban kasus dugaan penipuan Mujianto.

Meski begitu, Edi mengakui landasan hukum lain yang membenarkan pihak kejaksaan untuk tidak melimpahkan perkara P21 ke pengadilan. Menurutnya, ada tiga hal yang membenarkan suatu perkara tidak dilimpahkan ke pengadilan. Pertama, nebis In idem. Kedua, demi hukum (tersangka meninggal dunia), dan yang ketiga untuk kepentingan umum.

"Bila tidak ada satu pun dari ketiga hal tersebut, maka perkara itu sangat layak dilimpahkan ke pengadilan, demi terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum," papar Edi.

Bila jaksa selaku penuntut umum berpendapat lain, kata Edi, seharusnya sebelum berkas perkara dinyatakan lengkap (P21), dikembalikan ke penyidik (kepolisian) untuk dilengkapi.

"Kalau sudah dinyatakan lengkap, baiknya dilimpahkan. Biarlah pengadilan yang menentukannya," ujarnya.

Ketika ditanya tim kuasa hukum pemohon dimotori Arizal tentang Peraturan Jaksa Agung No 36/2011 tentang tenggang waktu 15 hari ke tahapan penuntutan setelah perkara dinyatakan lengkap, Edi Yunara berpendapat bahwa aturan dimaksud 'abu-abu' karena tidak ada sanksi tegas bila tidak dilaksanakan.

Yang jelas, sebut Edi, upaya hukum praperadilan sebagaimana diajukan pemohon terhadap para termohon (Jaksa Agung, Kejati Sumut dan Poldasu) menyusul 'mandeknya' proses hukum terhadap tersangka Mujianto, sudah tepat.

"Praperadilan ini sudah tepat, untuk membuka kasus Mujianto kembali," katanya.

Dalam persidangan itu, Edi Yunara panjang lebar menjelaskan ranah pidana kasus Mujianto yang sudah dinyatakan P21. Kuasa hukum pemohon, termohon maupun hakim yang menyidangkan prapid Ahmad Sayuti antusias melontarkan pertanyaan kepada Edi Yunara.

Hakim tunggal Ahmad Sayuti bahkan sempat meminta saksi ahli hukum pidana tersebut menjelaskan secara gamblang misalnya kasus kerja sama bisnis yang acap bias. Satu sisi bisa masuk ranah perdata dan di sisi lain bisa dikategorikan tindak pidana.

Menurut dosen Fakultas Hukum USU tersebut, hal itu tergantung isi perjanjian diperbuat para pihak. Bila misalnya suatu pekerjaan atau jasa pernah dibayarkan namun kemudian seret, bisa dikategorikan sebagai wanprestasi (ingkar janji).

"Namun bila pekerjaan dikerjakan namun sama sekali tidak pernah dibayarkan, maka ada unsur menggerakkan hati dan pikiran, ada upaya-upaya tertentu yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang dan merugikan orang lain secara materil, bisa dikategorikan tindak pidana," urainya.

Sebelumnya saksi yang diajukan pemohon Hasbullah menerangkan adanya statemen Kasi Penkum Kejatisu Sumanggar seputar sudah lengkapnya (P21) berkas kasus dugaan penipuan dan penggelapan atas nama Mujianto dan stafnya Rosihan Anwar. Menurutnya, penjelasan Sumanggar itu disampaikan secara tegas melalui konferensi pers.

Demikian juga pelimpahan kedua tersangka dari penyidik Poldasu ke Kejatisu (P22). "Dalam keterangannya kepada pers, Kasipenkum Sumanggar menyebut kasus Mujianto sudah lengkap atau P21. Mujianto juga disebutkan tidak ditahan dengan alasan kooperatif dan memberikan jaminan Rp3 miliar," tutur Hasbullah seraya menyebut dirinya masih menyimpan video konferensi pers tersebut.

Sedangkan saksi lainnya Sahril Sani Pane menerangkan, sebelum dilakukan penimbunan di lahan seluas 3,5 ha di Kampung Salam Belawan itu, dirinya ditugaskan oleh pihak Mujianto untuk menjaga lahan tersebut. Saksi juga sempat diberikan copy sertifikat surat tanah itu atas nama Mujianto agar tidak digarap pihak lain.

Saksi juga mengaku ikut bekerja ketika dilakukan penimbunan lahan tersebut dari awal. Semula penimbunan dikerjakan Marwan alias Águan, namun terhenti. Kemudian penimbunan dikerjakan oleh Rosihan yang juga pihak Mujianto sendiri, juga terhenti. Selanjutnya dikerjakan Armen Lubis, namun turut terhenti karena disebut-sebut tidak dibayar. Selanjutnya lahan itu dikerjakan pihak lain yang dihunjuk Mujianto.

"Lahan yang ditimbun itu sekarang sudah dijual ke PN Bungasari," katanya.

Saksi Sahril juga membeberkan bahwa dari awal sebelum dilakukan penimbunan, lahan tersebut hendak dijual Mujianto kepada PT Bungasari. "Dari awal pekerjaan penimbunan, dari 2014 hingga 2017, baik saat dikerjakan Águan hingga dikerjakan Armen, selalu ada pihak dari PT Bungasari di lokasi penimbunan," jelasnya.

Menjawab pertanyaan kuasa hukum termohon I dan II, saksi mengatakan, Armen Lubis (pemohon prapid) sempat mengeluh tentang pekerjaan penimbunan mereka lakukan tidak dibayar Mujianto.

Usai mendengarkan keterangan ketiga saksi, hakim tunggal Ahmad Sayuti melanjutkan persidangan, Jumat besok (25/7/2019) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari termohon. Para termohon yakni Kejaksaan Agung (Termohon I), Kejagung Tinggi Sumatera Utara (Termohon II) dan Poldasu (Termohon III). (imc/rel)

Komentar

Berita Terkini