|

Menengok Kepingan 'Surga' di Toba Samosir


Oleh Theo Yusuf Ms

KEPINGAN 'surga' itu mendadak nongol dari celah rerimbunan pohon besar pada jalan meliuk dan menanjak. Pada pagi yang basah di kawasan wisata dunia - Danau Toba - di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) di pengujung Desember 2020. Angin sepoi, sejuk, berembus tidak terlalu kencang.  Namun sajian paradoks muncul dari bibir pantai danau.

"Ini kepingan surga," kata seorang teman akhir pekan lalu yang baru pertama kali bertandang ke danau kebanggaan warga Sumatera Utara itu.

Tobasa, daerah yang relatif "muda" jika dilihat dari umur kelahirannya. Berkah reformasi 1998, lahirlah Undang-undang 12 Tahun 1998 tentang pembentukan Daerah Tingkat (Dati) II namanya Toba Samosir, akronim dari wilayah Toba  dan Samosir. 

Samosir dipisahkan dari daratan Tapanuli Utara, karena letaknya di tengah danau. Pada 9 Maret 1999, ditetapkanlah Penjabat Bupati Sementara Sahala Tampubolon dan Parlindungan Simbolon sebagai sekretaris daerah oleh Presiden yang diwakili Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid kala itu.

Kini Toba Samosir sudah  tak lagi disebut wisata lokal, karena telah didaftarkan sebagai kawasan wisata dunia. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) di bawah naungan PBB telah mencatatnya sebagai warisan alam yang perlu dijaga ekosistemnya. 



   
Indonesia, yang mempunyai ratusan warisan alam, warisan cagar budaya, seperti Candi Borobudur dan Prambanan di Jawa Tengah juga diakui sebagai wisata dunia. Itulah perlunya penjagaan secara baik dan berkelanjutan. Tujuannya bukan hanya merawat warisan alam itu. Tetapi juga menjadikan lingkungan terjaga, mampu meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat di sekelingnya.
  
Syaratnya, Sumber Daya Manusia (SDM) di sekitarnya harus punya keterampilan dalam mengelola wisata kelas dunia itu. SDM-nya, harus mumpuni dalam meningkatkan kreatifitas produk barang dan layanan agar para pendatang berkenan hadir dan betah tinggal di kawasan itu. Dengan begitu, dampaknya bagi pendapatan masyarakat akan naik sejalan dengan dijadikannya Toba sebagai Global Geoparks.   
  
Menurut salah satu petugas hotel di bibir Danau Toba, sebut saja Siahaan, pemerintah pusat tahun ini dikabarkan menganggarkan lebih dari Rp4 triliun untuk pembangunan Tobasa.Dana segede itu untuk membangun infrastruktur dan pengerukan bibir-bibir pantai. Tujuannya untuk memancing investor asing datang ke Simalungun dekat Tobasa ini.

"Namun saya pesimistis bisa terwujud jika prilaku masyarakat sekitar tidak 'digarap' secara baik," katanya kepada wartawan di Tobasa  belum lama ini. 



   
Maksud Siahaan, di wilayah sekitar hotel dilihatnya masih semrawut. Orang dengan bebas mematok lahan di pinggiran danau dengan mengklaim tanah adat. Saat orang datang untuk sekadar duduk dan menggelar tikar saja harus bayar. Orang bebas menawarkan haga kapal sewa dengan harga bervariasi, dari Rp750 sampai Rp1.000.000, tergantung apakah pengunjung lihai menawar atau tidak.  Padahal jarak tempuh penyeberangan tak lebih dari 1/2 jam saja.

Kalau mau naik kapal umum harganya sekitar Rp8.000 sampai Rp12.000 per orang. Hal seperti itulah yang justeru menghambat datangnya wisatawan lokal dan asing masuk ke wilayah ini. Itu perlu ditertibkan, tentunya.
  
Apa yang dikatakan Siahaan, saya rasakan saat bekunjung ke Tobasa pekan lalu. para calo kapal penyeberang menawarkan harga bervariasi, seolah tak ada standar harga sewa. Padahal jika para pelancong mengerti, di sana ada pelabuhan kecil, yang banyak tersandar kapal untuk angkut orang dan barang dengan harga relatif murah. Sayangnya informasi dan peraga itu minim didapat. Seharusnya perlu dibuat posko pusat informasi terkait dengan wisata Danau Toba.
  
Selain lingkungan yang harus mendukung, di sektor kuliner, tampaknya sudah ada geliat untuk membuat makan ala nasional. Seorang penjaga Hotel At Sari, menyebutkan, di tempat ini menyediakan khas makanan muslim. Bahkan makanan ala Jawa untuk sarapan pagi seperti wajik, cenil, dan lupis terbuat dari ketan dan bahan singkong tersedia di tempat itu.



"Bapak atau Ibu  gak usah khawatir. Makan di sini 80 persen bahan bakunya konten lokal dan diolah bervariasi. makanan ala Jawa cukup banyak. Menurut cerita, banyak orang Jawa dibawa ke Parapat oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan. Mereka beranak pinak hingga membuat jenis makan yang khas Jawa. Akhirnya orang Batak dan Medan Melayu juga banyak yang senang. Bahkan mereka juga sering menjajakan dagangannya di pinggir jalan," katanya, seraya menambahkan, tetapi masih perlu pembinaan dari Dinas Pariwisata agar cara membuat, cara berdagang dan tempat berjualan lebih menarik dan lebih rapi. 

Infastruktur dan SDM

Saat Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menyampaikan batalnya pameran festival Danau Toba tahun 2020, ia menyebutkan, target kunjungan wisata 1 juta orang belum tercapai.

"Jangankan 1 juta pengunjung, separuhnya-pun tidak sampai," katanya menjawab pertanyaan wartawan.

Edy Rahmayadi pernah menegaskan, seyogianya orang kita yang harus datang dulu sebelum orang lain atau wisata asing datang ke mari.

"Kita aja enggan datang, kok malah ingin mengundang orang lain," katanya dengan nada gurau.
 
Kurangnya target kunjungan ke Danau Toba tahun 2020 bisa dimaklumi lantaran pandemi Covid-19. Pandemi ini merusak bangunan ekonomi yang dulunya banyak disumbang dari sektor pariwisata.

Para petugas hotel di sekitar Danau Toba saat ditanya okupansi (tingkat hunian) kamar hotel, saat pandemi Covid-19, mereka sepakat menjawab adanya penurunan drastis.

"Tak lebih dari 50 - 65 persen," kata salah satu petugas di hotel itu.

Namun demikian, mereka tetap beroperasi dan tetap mempertahankan karyawannya meski okupansinya rendah.

Selain adanya covid, keenganan para wisata lokal datang ke Toba dapat dimaklumi. Jalan  menuju ke arah itu masih rawan. dari Medan ke Tobasa jaraknya sekitar 180-an Km, ditempuh lewat darat hampir 2,5 - 3 jam meski sudah ada jalan tol. Namun jalan tol juga belum sampai di wilayah Parapat dekat Tobasa. 

Menuju ke wilayah itu melawati hutan dan perbukitan yang tentunya rawan longsor saat musim hujan. Akibatnya jalan mobil dan motor ke arah itu mengular. Selain rawan longsor dan jalannya sempit, mobil-mobil besar dan bus juga melintas di jalan itu. Akibatnya, keenganan para wisata lokal dapat dipahami.
  
Sebagai orang tua dari anak-anak sekolah yang tinggal di Medan misalnya, tentu akan khawatir jika anaknya diajak berwiata ke Danau Toba. Kekhawatiran dimengerti lantaran tingkat risiko masih tampak tinggi.

Oleh karenanya, jika dana pembangunan infrastruktur Rp4,04 trililun dapat digelontorkan tahun ini, tentu akan dapat memperbaiki infrastruktur jalan ke  arah itu. Dengan demikian, drainase air di jalanan akan lebih lancar, genangan air berkurang dan risiko longsor juga berkurang.
  
Dengan adanya pembangunan Toba sebagai global geoparks, diharapkan menarik investor asing. Kabarnya lebih dari Rp6 triliun tahun ini akan mengalir ke wilayah itu untuk pembangunan sebuah resort. Kerjavsama antara pemerintah daerah (pemda), BUMD dan pemerintah pusat bersama BUMN-nya membangun wisata Danau Toba tidaklah sulit. Intinya ada kebersamaan, ada transparansi dalam perijinan untuk para investor swasta. Sebab membangun infrastruktur tanpa dibarengi dengan pembangunan SDM-nya ibarat membangun jalan tol tak ada mobilnya. Itu sebab, pembangunan infrastruktur harus dibarengi dengan pembangunan sumber daya manusianya. 
  
Salah satu kunci majunya wisata, kata pengamat pariwisata dari Jambi,  Fitria Carli Wiseza, majunya sebuah area wisata tak hanya tergantung pada keindahahan alam semata. Tetapi juga perlu didukung kreatifitas pengelolaannya, dan kemampuan masyarakat setempat untuk mendukungnya.  
  
Dalam  observasinya, ia menemukan faktor-faktor yang berperan mendukung pengembangan obyek wisata antara lain meliputi faktor lokasi, topografi, keadaan iklim, sumber air, aksesibilitas, infrastruktur dan sapta pesona.
  
Faktor lain yang tak kalah penting adalah perlunya melakukan atraksi wisata di daerah obyek wisata. Atraksi wisata atau daya tarik yang terdapat di obyek wisata perlu diciptakan agar para pengunjung tidak mudah bosan, hanya melihat keadaan alam semata.
  
Dengan demikian, Danau Toba akan lebih meriah, akan lebih punya daya tarik tinggi jika dukungan selain pembangunan infrastruktur juga adanya penyusunan paket kreatif dari pengelolanya, termasuk memperluas dukungan tersedianya fasilitas akomodasi seperti penginapan yang bervariasi nan bersih, rumah makan di sekitar obyek wisata yang beraneka ragam, termasuk kuliner muslim.

Jumlah pengunjung muslim relatif cukup besar. Mereka tentu tidak mau melihat makanan yang dinilai haram tersaji secara terbuka (vulgar).  Dengan demikian, jika Danau Toba akan dijadikan obyek wisata dunia, tak cukup hanya mengandalkan pandangan alam semata, tetapi juga pembangunan manusia di sekitarnya. Termasuk ketegasan aturan terkait penertiban lokasi dan penerapan harga-harga yang punya standar umum. Semoga.


Penulis Adalah Wartawan Senior Tinggal di Jakarta

Komentar

Berita Terkini