|

ODHA Masih Alami Diskriminasi dan Minim Informasi


INILAHMEDAN - Medan: Pemeriksaan kesehatan atau tes HIV/AIDS dan aturan dalam BPJS Kesehatan selain diskriminasi, masalah lain yang dialami oleh Orang dengan HIV/AIDS (Odha) adalah minimnya informasi. 

Hal ini dikatakan perwakilan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sumut Fatma Zuhriatun usai pertemuan dengan Jaringan Indonesia Positif (JIP) di Medan, Rabu (14/08/2019). 

"Dari diskusi tadi, keluhan teman-teman itu terkait pungutan saat berobat dan pengurusan BPJS Kesehatan yang sangat rumit," katanya.

Disebutkannya, banyak anggota populasi yang ingin mengurus BPJS Kesehatan tapi terkendali dengan pengurusan KTP yang sangat lama. Anggota populasi yang ingin mendaftar BPJS Kesehatan sudah waktunya diprioritaskan.

"Mereka banyak kendala dalam hal pemeriksaan kesehatan, khususnya pembuatan BPJS Kesehatan. Karena kebanyakan anggota populasi, misalnya perempuan pekerja seksual itu adalah orang dari luar, mereka kalau mau periksa atau berobat harus kembali dulu ke daerahnya. Tentu ini juga membuat kami pemerhati atau pemberi penyuluhan HIV AIDS kesulitan. Keluhan kawan-kawan itu rata-rata sama," ujarnya. 

Info penanganan HIV-AIDS ini diyakini banyak belum diketahui masyarakat. 

"Sebenarnya telah disiapkan pemerintah mulai dari tes CD 4 dan VL untuk penegakan diagnosa serta obat antiretroviral (ARV) yang harus diminum setiap hari," katanya.

Hal sama juga disampaikan Abdul Muluk, pemerhati HIV/AIDS dari JIP. Kata dia, Peraturan Bupati (Perbup) No 035 Tahun 2018 tentang tarif berbayar di seluruh jasa pelayanan di seluruh layanan kesehatan di Deliserdang juga menjadi berita buruk. Untuk mencapai target 90-90-90 itu, pihaknya terus akan bekerja sama dengan seluruh CSO (Civil Society Organization) dan insan pers agar strategi fast track bisa tercapai.

"Bagaimana kaitannya dengan strategi fast track 90-90-90 pada 2030. Kalau dijadikan berbayar, target 90-90-90 itu tidak akan tercapai. Untuk pemeriksaan HIV sudah diberlakukan. Seperti di Puskesmas Bandar Khalifah padahal peraturan tersebut belum disahkan. Kita harus bayar Rp75 ribu untuk reagennya dan Rp25 ribu untuk jasanya," tandasnya. (imc/fat)
Komentar

Berita Terkini